Rabu, 12 September 2007

Tentang 11 September dan Perang Global



Oleh Rikki Ricardo

1

Serangan terhadap World Trade Center (WTC) dan Pentagon adalah ekspresi-ekspresi dari ekonomi, sosial dan politik militer seluruh dunia dalam beberapa dekade ke belakang. Hal-hal tersebut dapat dipahami sebagai ekspresi-ekspresi kebrutalan dan ketidakmanusiawian yang mengikat seluruh dunia melalui orde kapitalis. Dan semua itu juga dapat dipahami seperti demikian di seluruh dunia. Atas alasan itu jugalah mengapa pada akhirnya, menjadi tak penting lagi untuk sekedar menyoroti siapa sebenarnya yang sungguh-sungguh melakukan serangan-serangan tersebut dan apa motif-motif di baliknya (apakah benar itu adalah teroris muslim, ataukah hal tersebut adalah rekayasa jajaran administratif Bush, seakan-akan kita akan dapat menemukannya). Melalui pemahaman ini dan reaksi-reaksi yang mengikutinya, serangan-serangan telah dilakukan secara obyektif dan dari segala arah menjadi sebuah ekspresi “oposisi antara utara dan selatan” di dunia ini, yang termaterialkan secara intensif dan sangat hebat dalam dua puluh tahun terakhir, dapat dipahami.

Serangan tersebut adalah kebrutalan yang memang mampu dilakukan manusia, tidak di manapun, tidak juga di tempat lain: di Amerika Serikat, pemberlakuan sistem eksploitasi ekonomi yang pada gilirannya melahirkan kapitalisme di belahan bumi ini, memang telah sejak awal selalu berarti sebagai perang: pembantaian populasi asli “Indian”, perbudakan, perang sipil, perang demi Texas dan lain-lainnya.

Sesungguhnya, yang lebih menakjubkan bukanlah adanya fakta bahwa negara Adidaya No.1 Dunia ini seakan tak siap menghadapi hal ini, melainkan tentang mengapa hal tersebut tidak terjadi sebelumnya—setelah seluruh kerusakan dan teror yang mana represi dan eksploitasi dunia ini telah dilakukan, diorganisir dan dipertahankan oleh negara Amerika Serikat dan pasukannya: No Gun Ri, My Lai, Panama City, Mutla Ridge/Basra, pengorganisiran pembantaian massal di Indonesia, dukungan terhadap rezim Shah di Iran/Persia, terhadap Pinochet, Saddam Hussein, Taliban di Afghanistan, pengeboman yang berkelanjutan di Irak serta yang masih dan terus berlangsung. Dan di atas segalanya, kalimat tadi tidaklah bermaksud menghadirkan sinisme atau melecehkan korban. Maksud kalimat di atas adalah untuk mengajukan pertanyaan, tentang mengapa hal tersebut baru terjadi bertepatan dengan kebutuhan para ekonom untuk mempertahankan kapitalisme dari krisis yang mulai menghadang. Sementara sinisme bukanlah bagian para proletariat karena hal tersebut telah diekspresikan oleh jawaban yang diutarakan oleh Madeleine Albright saat ditanya pendapatnya tentang kematian sepuluh ribu anak-anak sebagai hasil diberlakukannya sangsi ekonomi atas Irak: “Itulah harga yang harus kita bayar.” Berbicara mengenai harga, maka kini tagihan pertama telah dikirimkan dan dilunasi.

2

Serangan tersebut tidaklah menohok jantung kapitalisme. Secara kontras—serangan-serangan tersebut secara unik justru hanya mengawetkan dan memperkuat orde eksploitasi dan dominasi ekonomi, sosial dan politik di seluruh dunia.

Serangan terhadap WTC dan Pentagon telah menghadirkan sebuah kegembiraan terpendam bagi beberapa orang. Pencakar langit New York tertutup asap, WTC berkobar, dan pada akhirnya terhapuskan sepenuhnya dari lanskap. Pentagon terbakar, simbol—ekonomi dan juga militer—dari kekuasaan kapitalistik global dihancurkan. Hal-hal tersebut adalah gambaran-gambaran yang menimbulkan senyuman di wajah beberapa orang.

Tetapi dunia tidak berubah secara fundamental hanya dengan kolapsnya WTC. Hal ini, sebagaimana yang terjadi sebelumnya—adalah orde global dari eksploitasi dan penindasan. Lebih jauhnya: serangan-serangan tersebut melayani kepentingan kedua pihak—para penyerang versus negeri yang akan menjadi konfrontator, atau blok “kapitalis”—dalam upaya untuk memperluas dan memperkuat kekuasaan kedua belah pihak yang mulai meruntuh.

3

Perang tidak pernah hanya berupa konfrontasi antar kubu, melainkan, dalam esensinya, selalu berupa perjuangan umum dari kubu-kubu yang memimpin perang untuk mempertahankan dominasinya. Baik bagi pilot pesawat yang melakukan bunuh diri maupun bagi jajaran administrasi Bush sendiri, dalam hal inilah mereka melancarkan berperang.

Dengan serangan tersebut, sang penyerang tahu bahwa mereka telah meletakkan diri mereka setingkat dengan para pemimpin perang seperti Madeleine Albright, serta mengikuti logika perang yang mana telah secara langsung dilancarkan melawan proletariat dalam Perang Teluk. Di tataran permukaan, perang memapankan impresi sebagai oposisi antar kubu-kubu yang mempimpin perang; dalam esensinya bagaimanapun juga, dalam artian umum mereka hanyalah reaksi dari kebangkitan proletarian, perjuangan demi hidup yang lebih baik, revolusi sebagai gerakan emansipasi kemanusiaan.

Dalam perjuangan di seluruh penjuru dunia untuk meraih kontrol atas distribusi kemakmuran, para penyerang mendapatkan simpati dan dukungan yang kuat dari mereka yang terpinggirkan, mereka yang tertindas dan tereksploitasi. Bagi mereka, para penyerang telah menjanjikan kembalinya harga diri dan semakin besarnya jatah hidup bagi mereka dalam ruang orde sosial yang otoriter-hirarkis tanpa mengritisi struktur otoriter-hirarkis itu sendiri: sebuah perspektif yang secara fundamental sangat fasistik, yang berakar tak hanya pada semakin melebarnya jurang antara “yang kaya dan miskin” melainkan juga pada persoalan perebutan kekuasaan. Hal seperti ini adalah reaksi bagi gerhana dunia saat ini yang hanya akan melahirkan kembali struktur-struktur feodal, yang dahulu terlahir akibat kolonialisme, yang lantas tergerus oleh kapitalisme, yang termodernisir, terkembangkan dan digunakan oleh imperialisme.

4

Serangan-serangan oleh kekuatan-kekuatan revivalis Islam bukanlah sebuah ekspresi dari kekuasaan politik mereka yang semakin menguat, melainkan justru sebuah reaksi dari krisis dalam tubuh mereka sendiri. Mereka perlu untuk menyerang dalam upayanya untuk meletakkan diri mereka kembali ke arena permainan.

Akhir tahun 1960-an di Afghanistan, Pakistan dan negara-negara Islam lainnya, pemogokan-pemogokan pekerja, gerakan perempuan dan organisasi-organisasi kelas Kiri yang kuat berhasil memukul balik pengaruh dari grup-grup religius. Kekuatan yang menjadi seimbang dan membahayakan struktur orde kapitalisme ini segera “diperbaiki” oleh CIA dan “kekuatan-kekuatan imperialistik” melalui dukungan yang sistematis kepada grup-grup Islam yang reaksioner tersebut. Sementara bagi revolusi di Iran, aksi-aksi bersenjata di Aljazair dan lain sebagainya, pertanyaan-pertanyaan sosial dan Islamisme militan tampak mempersatukan dirinya; bagi mereka hal ini terobati dengan dengan semakin menguatnya elemen reaksioner di tubuh negeri-negeri tersebut sesaat setelah kelompok-kelompok Islam berkuasa dan diberlakukannya penangkapan-penangkapan terhadap para tokoh pekerja radikal.

Dalam dekade terakhir jutaan orang telah tergeser ke kota-kota dan dengan demikian meninggalkan struktur religius dan setengah feodal di lahan-lahan pertanian. Di kota-kota, fasisme yang dikolaborasikan dengan nafas religius (termasuk ke dalamnya Islam) menemukan basis kelasnya di tengah orang-orang tersebut, karena proletarianisasi-urbanisasi berarti juga penderitaan, sederhana dan jelas, karena mereka belum menjadi bagian dari kelas pekerja. Mereka inilah yang lantas menjadi kader-kader dalam perjuangan untuk mengembalikan kekuasaan kaum feodal sebelumnya.

Elit-elit lokal dan mereka yang berada dalam strata menengah merasa diri mereka dienyahkan oleh apa yang mereka klaim sebagai kepemimpinan “Barat”, yang dianggap telah menghilangkan “harga diri” mereka. Di luar strate sosial tersebut, para kader dan pemimpin gerakan ini merekrut kalangan mereka sendiri. Tepatnya gerakan ini dapat, di satu sisi merepresentasikan dirinya sebagai mereka yang tertindas, sementara di sisi lain juga harus diwaspadai sebagai oponen yang berbahaya bagi setiap macam bentuk emansipasi atau katakanlah revolusi secara umum.

Dengan demikian reaksi para revivalis Islam mendapati diri mereka berada di ambang kehancuran—tidak hanya dalam konteks sejarah, tetapi juga dalam melenyapnya basis mereka melalui proletarisasi, urbanisasi dan migrasi jutaan orang dari Asia dan sebagian Afrika, sekaligus juga bagaimana “Republik Islam” Iran juga telah mencapai batas usianya, sehingga mereka berusaha untuk mencari strategi-strategi agar mampu bertahan hidup—melawan modernisasi dan perjuangan pekerja. Di Aljazair hal tersebut diperlihatkan jelas bahwa dalam momen kebangkitan beberapa saat lalu FIS tak dapat menghadirkan alternatif bagi kemanusiaan; di Indonesia para revivalis Islam menghabiskan waktunya dengan menyerang serikat-serikat pekerja, kaum Kiri dan bahkan pemogokan—sehingga mereka juga semakin kehilangan basis kelas di antara para pekerja. Sebagaimana juga yang seringkali terjadi di banyak kasus, serangan-serangan seperti demikian lebih merupakan manifestasi atas mulai redupnya sebuah gerakan. Melalui reaksi (yang jelas juga telah dikalkulasikan dengan baik) dari AS dan “Dunia Barat” yang mulai menyerang, mereka kini mengalami revalorisasi dengan adanya imaji Usamah bin Ladin, yang melalui serangan di kedubes AS di Afrika menjadi pahlawan di daratan Arab; atau seperti Saddam Hussein yang secara politis tak akan dapat mempertahankan kekuasaannya tanpa adanya Perang Teluk tahun 1991.

5

Sekedar memperlihatkan bahwa AS tidak berdaya di bawah serangan tertentu seperti serangan terhadap WTC dan Pentagon, tidak lantas berarti bahwa hal tersebut akan mampu memperlihatkan pada proletariat luas jalan keluar dari ketidakberdayaan.

Para “syuhada” tersebut tidak berurusan dengan penindasan dan eksploitasi. Mereka hanya ingin menggantikan peran sang penindas, dan apabila mereka tak mampu melakukan hal tersebut, maka mereka ingin untuk setidaknya dapat berpartisipasi dalam permainan kekuasaan. Bagi mereka yang terkuras, tersingkirkan, terlecehkan, kelaparan dan kekurangan perspektif emansipatoris tentang dunia, serangan terhadap sebuah simbol kapitalisme dapat terepresentasi sebagai sebuah ekspresi atas krisis mereka sendiri atas keadilan. Dalam artian ini, serangan tersebut jelas diarahkan secara politis dengan sangat baik. Proletariat di dunia ini (“dukungan massa” juga jelas berguna bagi pemerintahan rezim kapitalis, fasis ataupun feodal) menyadari kerapuhan sang polisi dunia tapi tetap kehilangan arah menuju pembebasan dirinya. Dengan demikian juga, maka sekuat apa kemungkinan berkembangnya pengaruh para pejuang jihad dan boss-boss mereka di Afrika dan Asia, menjadi sangat tergantung pada bagaimana cara AS dan kapitalisme global merespon seruan perang ini.

6

Jelas, bahwa serangan tersebut juga menyerang sektor proletariat: tidak hanya para petinggi dan bankir WTC, tetapi juga para pekerja jasa dalam WTC: sekretaris, petugas kebersihan, para pelayan dari Bangladesh termasuk buruh-buruh migran dari Colombia, termasuk para pekerja pemadam kebakaran yang juga menjadi korban setelahnya. Di samping semua ini, serangan tersebut telah dengan sukses membangun sebuah konfrontasi tersendiri dalam proletariat global; para pekerja media, staf administratif, pilot (“pekerja informasi” dalam artian luas), pekerja pemadam kebakaran, menjadi secara serentak mengamini solusi perang yang dikumandangkan jajaran admnistratif AS dan melihat bahwa “peradaban mereka” terancam oleh “para muslim gila yang fanatik”.

Dengan kenyataan ini, dua kutub ekstrim dari proletariat dunia akan saling berhadapan satu sama lain sebagai musuh. Di balik semuanya, struktur global eksploitasi kapitalis, relasi kapital dan kelas—yang eksis secara global dan termediasikan dalam pasar dunia semenjak terbentuknya kapitalisme—kini seakan melenyap. Mobilisasi anti-globalisasi dalam tahun-tahun sebelumnya telah membawa relasi kapital global dan ketidakpuasan umum atas orde kapitalisme dengan ekspresi yang jelas—tetapi dalam sesuatu yang terkesan simbolik. Bukannya membawa rasa ketidakpuasan ini untuk kembali merujuk pada akar masalah ke dalam seluruh perjuangan sosial, para aktivisnya hanya mengarahkan kemiskinan proletariat melawan kapital finansial global (dan apapun yang merupakan simbolnya) yang lantas juga membentuk opini global bahwa permasalahan hanya terletak pada badan-badan finansial global atau yang sering disebut sebagai monster neoliberal, tetapi tidak pada struktur kapitalisme itu sendiri. Gerakan “anti-globalisasi” ini, yang juga dikejutkan oleh serangan pada WTC dan Pentagon, mau tidak mau juga harus mengubah daratan pertempurannya—walaupun juga selama ini sangat terbatas—apabila tak ingin kehilangan momen untuk mengritisi globalisasi.

7

Sebagaimana para reaksioner Islam ingin mengembalikan posisi kekuasaan mereka yang hilang dengan cara melancarkan perang, kapitalisme “Barat” juga membutuhkan perang dan teror dalam upayanya untuk berurusan dengan sebuah kebangkitan revolusioner dalam masa-masa kolapsnya ekonomi dunia.

Sebagaimana pesawat-pesawat terbang yang melayang menuju menara kembar WTC dan Pentagon, ekonomi dunia juga baru saja memasuki tahap awal dari salah satu krisis-krisis yang paling sulit untuk dilalui sepanjang sejarah kapitalisme. Pasca krisis finansial di Asia, Russia dan Brazil, ledakan konsumsi hutang-finansial terjadi di AS, tetapi ekonomi dunia masih dapat mempertahankan diri dari kehancuran. Tetapi bahkan sebelum 11 September telah menjadi jelas bahwa sekedar bertahan di pinggir jurang tidaklah cukup, sehingga dibutuhkan sebuah kejutan yang drastis untuk kembali menstabilkan ekonomi. Drama ini memperlihatkan fakta bahwa dalam momen tersebut tiga pusat ekonomi dunia—AS, Jepang dan Eropa Barat—secara simultan memasuki gerbang krisis bersama seluruh instrumen kebijakan finansialnya. Kita semua lantas memiliki sebuah konstelasi, yang pada akhirnya, hadir seperti yang pernah terjadi di pertengahan tahun 1960-an—fase di mana AS mulai melancarkan perang di Viet Nam. Setelah penyerang 11 September terjadi, dapat dideteksi nafas lega dari para ekonom dan boss-boss adminsitratif, bahwa serangan tersebut menghadirkan sebuah alasan dan pembenaran bagi langkah-langkah penyelamatan ekonomi yang akan dilakukan selanjutnya.

Dari banyak kasus etnis—atau religius dan ras—dari mereka yang kalah hingga pada mereka yang melakukan pemberontakan di kalangan proletariat urban di Afrika serta petani di Amerika Latin, hingga pemogokan yang tak terhitung jumlahnya di Indonesia, perjuangan pekerja di Iran, kerusuhan proletarian di Argentina; serta mulai bangkitnya kekuatan Cina sebagai anggota baru WTO, jajaran administratif Bush juga paham bahwa AS telah memiliki beberapa kunci untuk menghentikan krisis serta mempertahankan Tatanan Dunia Baru dari serangan mereka yang termiskinan oleh struktur piramida eksploitasi dunia.

Dengan adanya serangan, menjadi mungkin bagi jajaran administratif tersebut untuk merangkul Eropa Barat ke dalam kubunya dan membangun kekuatan multinasional yang lebih kuat. Juga penting untuk melihat bagaimana Bundesrepublik Deutschlan (BRD) yang memiliki satu dari beberapa pasukan tentara terbesar di dunia, pada akhirnya mampu terseret dalam sebuah perang dunia. Mengesampingkan hal ini, mereka semua bekerja dengan memanfaatkan sebuah situasi di mana sistem sosial global benar-benar lemah, yang menjadi alasan bahwa mereka sedang mempertahankan dan memperbaiki seluruh area dari kehancuran.

8

Apa yang terjadi bagi negara-negara bangsa, di samping terjadinya perang eksternal, adalah keharusan juga untuk melancarkan perang internal. Hal ini justru dilakukan untuk mengatasi perpecahan pandangan antara kepentingan eksternal dan internal yang lebih jauh, sebagaimana yang juga diutarakan oleh Menteri Luar Negeri BRD, Joschka Fischer. Pengiriman “unit-unit khusus” militer, peningkatan “keamanan internal”, peningkatan pajak, rekonstruksi negara sosial, penekanan pengangguran, pengetatan persoalan keimigrasian—semua itu kini mendapatkan alasan kuat yang saling berkaitan untuk segera diberlakukan tanpa harus diundur-undur lagi. Dengan adanya “musuh” baru, adalah skenario sempurna bagi diberlakukannya sebuah perang eksternal, yang juga membenarkan untuk diberlakukannya perang internal. Inilah kasus yang terjadi di Eropa. Perang di luar sana merepresentasikan diri sebagai sebuah perang yang berbeda dari yang Eropa alami dalam dekade-dekade sebelumnya: di mana kini musuh kini dapat menyamar, tak terjelaskan, tak terketemukan, berada di mana saja dan juga ada di balik topeng apapun. Hal ini meningkatkan paranoia proletariat yang akut. Bertahun-tahun sejak dilancarkannya perang melawan terorisme internasional ini berkembang menjadi sebuah perang yang lebih langsung terhadap kelas pekerja di seluruh dunia—dengan cara apapun, baik internal maupun eksternal. Untuk hal tersebut, nilai-nilai komuniti dunia Barat telah menandatangani kesepakatan. Komisi Uni Eropa beberapa saat lalu juga mulai memperkenalkan sebuah definisi “terorisme” yang lebih luas. Dalam definisinya, apapun yang berkaitan dengan perjuangan di luar metoda aksi yang direstui negara (seperti serikat pekerja legal, partai politik, NGO) dapat dideterminasikan sebagai aksi terorisme, baik hal tersebut berupa aksi kerusuhan di jalanan urban ataupun aksi-aksi tak berijin termasuk aksi-aksi gangguan dalam dunia cyber.

Masalahnya oponen perangnya juga tidak tinggal diam. Pembedaan antara teror negara dan non-negara semakin terkikis jauh lebih cepat daripada sebelumnya, sebagaimana kekuatan-kekuatan para revivalis Islam mendapatkan kekuatannya di Timur Tengah. Pakistan dan Indonesia. Serta, untuk melengkapi ini semua, apa yang Fischer dan lainnya deklarasikan dalam pertemuan PBB pada September 1999, tepat setelah perang NATO di Yugoslavia berakhir, segera menjadi kenyataan: “Sekretaris Jenderal Kofi Annan telah tepat saat berkata bahwa perlu ada pengembangan sebuah ‘kultur pencegahan’ dalam upaya untuk menghindari pecahnya perang di masa depan dan kehancuran alam. Penguatan ‘urusan internal’ tak boleh lagi dibiarkan dianggap sebagai tameng bagi para diktator dan pembunuh. Semua orang telah mengetahui betapa sulitnya transisi dari sebuah ‘kultur reaksi’ menjadi ‘kultur pencegahan’. Ini semua membutuhkan kekuasaan yang persuasif, dalam upaya untuk menghasilkan kehendak ekonomi dan politik yang akan menghindarkan dari sesuatu yang semoga saja tak akan pernah terjadi.”

9

Maka kini apa yang harus disadari pertama kali oleh mereka yang mampu melihat bahwa orde kapitalisme harus diruntuhkan, dan bukan hanya simbol-simbol permukaannya saja, harus juga mulai menyadari bahwa perang yang sesungguhnya terjadi bukanlah sekedar benturan antar peradaban seperti yang diramalkan oleh Samuel Hutington dalam karyanya “Clash of Civilization” di mana pasca Perang Dingin yang berakhir dengan ditandai oleh runtuhnya tembok Berlin, maka peradaban “Barat” akan menemukan musuh barunya yaitu peradaban “Timur” atau katakanlah peradaban Islam. Perang antara para revivalis reaksioner Islam dengan tokoh simboliknya Usamah bin Ladin beserta tokoh-tokoh lokalnya masing-masing versus kekuatan negara-negara “Barat” yang dipimpin oleh AS beserta seluruh negara-negara “blok kapitalis” lainnya adalah jelas perang yang terjadi di permukaan, perang untuk berebut posisi kekuasaan sebagai penindas dan pengeksploitasi. Sementara perang yang sesungguhnya sedang terjadi dan semakin menguat adalah perang antar kelas, di mana kekuatan kelas pekerja yang sebelumnya menguat dan semakin mampu mengimbangi kekuatan kelas musuhnya, kini dikikis dengan ilusi “Perang Melawan Teror” di AS dan negara-negara pendukungnya atau “Perang Melawan Kafir” bagi oponennya, negara-negara Islam atau negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam—perang-perang yang melemahkan kekuatan kelas dan memecah belah kekuatan proletariat dengan memanfaatkan kipasan sentimen religius.

Tidak ada komentar: