Jumat, 14 September 2007

Situasi Nasional Kebudayaan


Oleh Tejo Priyono

Demokrasi hasil capaian perjuangan rakyat mendapat ancaman serius. Kecenderungan demokrasi saat ini tidak serta merta membolehkan bentuk bentuk progressif kebudayaan. Aksi massa dengan program nasionalisasi industri pertambangan, aktivitas-aktivitas politiknya Papernas terbukti menakutkkan bagi kelas borjuis imperialis dan kompradornya di dalam negeri, hingga meraka perlu memberi ”proyek” pada Front Anti Komunis Indonesia (FAKI), FPI, FBR untuk merepresinya.

Juga teror-teror fisik dan struktural (berupa Perda-Perda Syariat dsb) diarahkan pada kaum perempuan, diskriminatif terhadap hak-hak kaum lesbian-gay-biseksual, juga kepada kelompok-kelompok agama minoritas; seperti larangan acara Kebaktian Kebangunan Rohani/KKR di Jogja Festival 2007 (Selasa, 29 Mei 2007 yang sedianya menghadirkan evangelist asal kanada Dr Peter Youngren dan Adon vocalis Base Jam batal terselenggara karena warga yang tergabung dalam ormas keagamaan di Jogja mendesak polisi untuk tidak memberi izin, mereka sebut kegiatan itu adalah pemurtadan massal berkedok pengobatan gratis).

Budaya militeristik juga menguat pada kasus IPDN, menyusul kematian Cliff Muntu, salah seorang praja tingkat II di Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) Jatinangor Sumedang, Jawa Barat. Juga dalam insiden penembakan oleh anggota TNI AL terhadap warga Alas Tlogo, Grati, Lekok, Kabupaten Pasuruan hingga menewaskan 5 warga desa Grati yang terdiri dari beberapa wanita dan anak balita.

Di ranah seni audio visual / film dinamikanya bisa dimulai pada Rabu 3 Januari 2007 di Jakarta saat rame rame pekerja film (Dian Sastro, Mira Lesmana, Tora Sudiro, Hanung Bramantyo, Riri Riza dsb) yang tergabung di Masyarakat Film Indonesia (MFI) mengembalikan piala citra FFI 2006 sebagai protes atas penjurian yang memenangkan Ekskul sebagai film terbaik Festival Film Indonesia 2006. Protes MFI berlanjut terhadap sistem kelembagaan perfilman Indonesia yang dinilai MFI masih dijalankan oleh lembaga dan organisasi bentukan Departemen Penerangan di masa orde baru, seperti Lembaga Sensor Film, BP2N, organisasi-organisasi yang bernaung di bawahnya yang mereka sebut tidak mencerminkan semangat pembaharuan serta tidak berpihak pada
kemajuan perfilman indonesia. Sementara industri film indonesia setelah era percintaan remaja kini tengah booming film-film horror macam Kuntilanak, Pocong, Hantu Bangku Kosong, Hantu Jeruk Purut, Terowongan Casablanca, Malam Jumat Kliwon, Angker Batu, Suster Ngesot menindih film bernafas nasionalisme (Naga Bonar 2) atau tema-tema yang lebih rasional; Mendadak Dangdut, Denias dan Mengejar Mas-Mas.

Sektor musik, di industri pertunjukan masih menghadirkan artis, grup vocal atau band dari luar negeri dan jadi andalan untuk nanggok untung para promotor musik kita. Kurun waktu setengah tahun ini ada Hoobastank (Rock), Good Charlotte (Rock), Dragon Force (Speed Metal), Soasin (Rock), Muse (Rock), Lionel Ritchie (Pop), DJ Tiesto (Dance/House), Simple Plan (Pop Punk), III Divo (Klasik), Boyz II Men (R&B), Toto (Classic Rock). Juga hajatan Jakarta International Java Jazz Festival hadirkan banyak musisi jazz dunia.

Selain import musik dari mancanegara, kita juga eksport musik ke luar negeri. Setelah Anggun kini giliran Agnes bersiap Go Asia; ke Jepang, Taiwan, dan Hongkong. Untuk kasus Malaysia, saking mbludaknya kiprah artis pop kita di sana membuat seorang pengamat musik Malaysia (yang ia sendiri akui bahwa banyak karya bermutu baik sastra dan musik Indonesia menjadi santapan jiwa rakyat Malaysia sejak lama, bahkan ketika era sebelum merdeka dulu seperti lagu Jangan Ditanya, Melati di Tapal Batas, Rindu Lukisan-nya Ismail Marzuki atau Bengawan Solo-nya Gesang yang menurutnya telah lama hidup di jiwa rakyat negeri itu) perlu menulis artikel di Utusan Malaysia Online dengan judul: “Kenapa Import Lagu Sampah?” Nidji saja kaget saat menyambangi radio-radio Malaysia untuk promo musik di sana, ternyata tangga lagu mereka, posisi 10 besar semuanya diisi oleh musik Indonesia.

Sementara industri rekaman artis lokal masih diwarnai pertempuran antara yang lama versus pendatang baru, otomatis promo dagangnya bersaing keras, inovatif, kreatif dan gila-gilaan dalam nggelontorkan uang; contohnya launcing album Hari Yang Cerah Peterpan ditayangkan serentak di 7 stasiun TV.

***

Secara umum ada kemajuan pada isian tema, keterlibatan dan aktivitas seni budaya (progressif) yang sudah dan akan berlangsung. Di Januari 2007, dari Manado Sulawesi Utara pembangunan gerakan kebudayaan pro rakyat miskin diawali dengan tampilnya Kolektif Kerja Budaya Rakyat (KKBR) pada tanggal 6 Januari 2007. Ini menjawab kebutuhan akan hadirnya organ kebudayaan di Manado guna menopang kerja – kerja gerakan rakyat demokratik yang sudah lebih dulu ada. Terbentuk dan langsung menggebrak dengan kerja – kerja budaya seperti pentas musik, bedah buku, aksi massa, pentas teater, penggalangan front, perluasan struktur dan menyiapkan terbitan mereka yang rencananya bernama: “Gerak Budaya”.

Saat May Day 2007 lalu, kreativitas buruh (dari FSBJ, Kasbi dan organisasi-organisasi lain yang tergabung dalam Aliansi Buruh Menggugat) tercermin pada tuntutan naikkan upah, penghapusan sistem kerja kontrak, penolakan PHK, korupsi yang disampaikan dengan indah lewat kaos, poster, karikatur, aksi teatrikal. Lagu Awas! Inggris Amerika (yang pernah populer sebagai lagu perjuangan rakyat melawan neo kolonialist era Soekarno dulu) membahana dinyanyikan massa aksi, tak ketinggalan seniman musik dari Bandung; Mukti Mukti menyanyikan lagunya Menitip Mati / The Revolusi is.

Lembaga Pers Mahasiswa Ekonomi (LPME) Ecpose FE Universitas Jember menggelar acara sastra buruh migran bertema: "TKI Menulis, TKI Bicara" pada 4 Mei 2007. Hadir Enni Kusuma (TKI yang bekerja di Hongkong sebagai PRT) penulis buku Anda Luar Biasa!.

Dari GOR Pakuan Kampus Universitas Padjadjaran Jatinangor (12 Mei 2007) diskusi publik, art perfomance dan Pemutaran film menandai peringatan Widji Thukul: "Merekam Ketidakadilan Melalui Seni" yang diadakan oleh Ultimus, Pantau, Ikohi, Kontras, Komunitas Jumat Malam, dJatinangor, Imafo, MA, JPK.

Jaringan Kerja Kebudayaan Rakyat (Jaker), Indie Art, Institute for Global Justice (IGJ), Galeri Publik mengadakan rangkaian acara Workshop dan Pameran Seni Rupa Propaganda dari tanggal 11 Maret – 11 Mei 2007. Kegiatan ini diakhiri dengan diskusi seni rupa propaganda yang hadirkan pembicara Yustoni Volunteero (Taring Padi), Ade Darmawan (Direktur Ruang Rupa) dan Revitriyoso (Koordinator Galeri Publik).

Peluncuran buku terbitan Reform Institute Bangsa Yang Belum Selesai: Indonesia, Sebelum dan Sesudah Soeharto mengajak kita untuk meyakini dan merebut kembali metode perjuangan aksi massa serta ideologi perjuangan revolusi sebagai senjata perjuangan pembebasan nasional dari cengkraman imperialisme. Max Lane, si penulis buku menegaskan dalam pidato peluncurannya di Jakarta 22 Mei 2007: "Masih banyak kekayaan revolusi yang perlu digali kembali termasuk ideologi kerakyatan yang terkandung dalam tulisan-tulisan karya Kartini, Tirto Adi Suryo, Soekarno, dan lain-lain dalam bidang politik maupun sastra”. Sayangnya, karya-karya besar seperti tulisan Soekarno "Nasionalisme, Islam dan Marxisme," atau karya Sutan Sjahrir, Muhammad Natsir, HOS Cokroaminoto, tidak pernah dibaca anak-anak sekolah Indonesia. "Bagaimana Indonesia bisa menghadapi ancaman Barat jika hasil kekayaan revolusi nasionalnya sendiri tidak diketahui oleh bangsanya?" demikian Max mempertanyakan. (dari http://www.suarapembaruan.com/News/2007/05/23)

Pementasan Teater Nyai Ontosoroh, adaptasi novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer akan dilangsungkan di Jakarta bulan agustus 2007, sang sutradara Wawan Sofwan akan didukung squad tim artistik antara lain Dolorosa Sinaga, Gallis A.S, Rin Threesia, Fahmi Alatas, Mogan Pasaribu, Jerry Pattinama, Azis Dying, dan Faiza Mardzoeki sebagai penulis naskah. Para pemain ada Happy Salma, David Chalik, Madina, Andi Bersama, Teuku Rifna Wikana, Join, Margesti, Willem Bevers dan lain-lain.

Rencananya FSB Retorika akan membuat pementasan Kethoprak Lesung pada 8 September 2007, mengangkat naskah seputar Tragedi Kemanusiaan ’65 dan pementasan dibuat di level Jogja.

Tapi seperti sudah ditulis di awal bahwa demokrasi saat ini rentan terhadap represifitas oleh negara (polisi, tentara, kejaksaan agung) serta kelompok-kelompok reaksioner agama. Seperti larangan edar terhadap 13 judul buku teks pelajaran sejarah SMP/MTs dan SMA/MA/SMK oleh Kejaksaan Agung dengan SK 19/A/JA/03/2007 tanggal 5 Maret 2007. Alasannya adalah tidak memuat pemberontakan Madiun dan 1965 dalam buku-buku tersebut, serta tidak mencantumkan kata PKI dalam penulisan G30S. PBHI (Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Azasi Manusia) dan penerbit buku yang tergabung dalam Ikatan Penerbit Indonesia - Ikapi memprotes hal tersebut.

Penundaan Diskusi buku Memahami Revolusi Venezuela pada hari kelima acara May Rally 2007 yang di selenggarakan JPK (Jaringan Peduli Kemanusiaan), Ultimus, Kelompok Kerja Rumah Kiri, Buku Kiri, Aliansi Muda Progresif, dan KontraS (karena diawasi, dibatasi dengan berbagai alasan oleh Kepolisian Resort Bandung) semakin meyakinkan dan menunjukkan bahwa negara tidak bisa menjamin (malah justru membatasi) ekspresi rakyat untuk leluasa berkebudayaan.

Karenanyalah kita untuk tidak bosan membangun persatuan dan konsolidasi antar individu/kelompok pelaku budaya progressif dan kelompok-kelompok minoritas yang kerap jadi korban. Kalaupun tidak bisa berkumpul dalam satu wadah (Partai Politik misalnya) tentunya bisa dengan wadah lain yang lebih longgar semacam Blok Kebudayaan yang punya karakter ilmiah, demokratik, pro rakyat, cinta teknologi serta anti terhadap imperialisme. ***

Jakarta, 11 Juni 2007

Tejo Priyono, Ketua Bidang Budaya Dewan Pimpinan Pusat Partai Persatuan Pembebasan Nasional – DPP Papernas.

Tidak ada komentar: