Rabu, 12 September 2007

Dua Abad Islam Liberal



Oleh Luthfi Assyaukanie

Sebagai gerakan lokal, Jaringan Islam Liberal Maret ini baru berusia enam tahun, tapi sebagai gerakan global, Islam Liberal—dari mana istilah JIL berasal—sesungguhnya telah berusia dua abad lebih. Mengambil patokan tahun 1798, usia Islam Liberal mencapai 209 tahun.

Tahun 1798 adalah saat Napoleon Bonaparte menginjakkan kaki di Mesir. Tahun itu sangat bersejarah. Bernard Lewis menyebutnya sebagai a watershed in history dan the first shock to Islamic complacency, the first impulse to westernization and reform (Lewis 1964:34). Para ahli sejarah sepakat, kedatangan Bonaparte di Mesir merupakan tonggak penting bagi kaum Muslim dan juga bagi bangsa Eropa.

Bagi kaum Muslim, kedatangan itu membuka mata betapa tentara Eropa yang modern mampu menaklukkan dan menguasai jantung Islam. Bagi orang Eropa, kedatangan itu menyadarkan betapa mudah menaklukkan sebuah peradaban yang di masa silam begitu berjaya dan sulit ditaklukkan.

Begitu penting 1798. Albert Hourani, sejarawan Inggris keturunan Lebanon, menjadikannya awal era liberal bagi bangsa Arab dan kaum Islam. Seperti yang ia jelaskan dalam bukunya, Arabic Thought in the Liberal Age, kedatangan Bonaparte ke Mesir bukan sekadar penaklukan militer, melainkan juga awal kebangkitan kesadaran kaum Muslim akan diri mereka.

Menarik dicatat, Hourani menggunakan era liberal untuk merujuk masa kebangkitan Islam di dunia modern. Kata liberal di sini ialah sebuah kondisi dan suasana di mana kaum Muslim bebas mengartikulasikan kesadaran budaya dan peradaban mereka. Dalam konteks Eropa, liberal mengacu kepada situasi kebangkitan dan pencerahan. Itu sebab ketika karya Hourani itu diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, yang digunakan untuk liberal age adalah asr al-nahdah yang berarti ’era kebangkitan’ (judul lengkapnya al-fikr al-arabi fi asr al-nahdah). Menurut Hourani, era liberal di dunia Arab terentang dalam (1798-1939). Tahun 1939 merujuk kepada pecahnya Perang Dunia II dan dimulainya kiprah politik Ikhwanul Muslim di Mesir. Selama rentang itu dasar pemikiran seperti kemajuan, modernitas, kebebasan, dan persamaan dibincangkan secara luas.

Para Liberalis Awal

Para pembaharu awal seperti al-Tahtawi, al-Tunisi, dan al-Kawakibi menyadari betul kondisi kaum Muslim yang terbelakang. Perhatian utama mereka: bagaimana mengubah keadaan ke arah lebih baik. Mereka selalu membenturkan kondisi keterbelakangan kaum Muslim dengan kemajuan Eropa. Persis seperti yang dipertanyakan Abd al-Rahman al-Kawakibi dalam bukunya, limadza taakhkhara al-muslimun wa limadza taqaddama ghayruhum (mengapa kaum Muslim mundur dan mengapa bangsa lain maju?).

Seluruh pemikiran dan gagasan yang dikemukakan para pembaharu Islam abad ke-19 berputar pada upaya menjawab pertanyaan di atas. Adalah ironis, peradaban yang pada masa silam memiliki sejarah gemilang dan kitab sucinya mewartakan "umat terbaik di dunia" (khayru ummatin ukhrijat linnas) berada pada titik nadir peradaban. Bukan hanya berada dalam keterbelakangan, mereka juga dalam penjajahan bangsa lain. Mesti ada satu sebab utama mengapa kaum Muslim terbelakang dan mengapa bangsa Eropa maju?

Rifa’a al-Tahtawi (1801-1873) adalah salah satu tokoh pembaharu pertama yang mencoba menjawab pertanyaan itu. Menurut al-Tahtawi, kunci pertanyaan itu adalah "kebebasan" (hurriyyah). Bangsa Eropa maju karena memiliki kebebasan. Temuan sains dan teknologi di Eropa sejak abad ke-16 didorong oleh suasana kebebasan dalam masyarakat itu. Tahtawi menganggap kebebasan bukan hanya kunci bagi kebahagiaan, tapi juga bagi keamanan dan kesejahteraan.

Sebab utama keterbelakangan kaum Muslim, menurut Tahtawi, ialah ketiadaan kebebasan itu. Ini sudah terjadi sejak kerajaan Islam di Baghdad (abad ke-12) dan Cordova (abad ke-15) runtuh. Sebaliknya, kebebasan berpikir yang dalam istilah agama dikenal dengan ijtihad justru dimusuhi dan diharamkan. Selama rentang abad ke-15-ke-19, wacana pemikiran Islam diwarnai dengan semangat menutup pintu ijtihad.

Tahtawi tak sendirian meyakini kebebasan sebagai kunci kemajuan suatu bangsa. Pada 1878 Sa’dullah, intelektual dan diplomat Turki, berkunjung ke Pameran Besar di Paris. Dalam sepucuk surat kepada teman-temannya, dia bercerita: "Di depan pintu utama aku melihat patung kebebasan. Dia duduk dan memegang sesuatu di tangannya. Gayanya seolah sedang menyampaikan pesan: ’Hai para pengunjung! Jika Anda menyaksikan berbagai pencapaian kemajuan manusia dalam pameran ini, jangan lupa bahwa seluruh pencapaian ini adalah hasil dari kebebasan. Lewat kebebasan manusia mencapai kebahagiaan. Tanpa kebebasan, tak akan ada keamanan; tanpa keamanan, tak akan ada pencapaian; tanpa pencapaian, tak akan ada kesejahteraan; tanpa kesejahteraan, tak akan ada kebahagiaan’." (Lewis 1964:47).

Para pembaharu atau liberalis Muslim awal melihat kebebasan benar-benar sebagai kunci kebahagiaan. Bukan hanya kebahagiaan individu, tapi juga kebahagiaan suatu bangsa. Pandangan ini mengingatkan kita pada Francis Fukuyama (2000) ketika menjelaskan "modal sosial" dalam berdemokrasi. Menurut Fukuyama, demokrasi sangat ditentukan oleh modal sosial yang mendukungnya. Modal sosial adalah sekumpulan berbagai unit dalam sebuah masyarakat. Unit terkecil kumpulan sosial adalah keluarga yang terdiri dari individu-individu. Jika individu dalam keluarga ini baik, dia akan memiliki dampak pada unit yang lebih besar, yakni masyarakat sebagai modal demokrasi.

Tahtawi dan para pembaharu Islam abad ke-19 juga melihat kebebasan individu sebagai langkah awal mewujudkan kebahagiaan dan sukses yang lebih besar. Yang dimaksud dengan kebebasan adalah kebebasan politik, suatu keadaan di mana individu bisa memikirkan dan berbuat sesuatu secara bebas tanpa tekanan atau larangan penguasa. Yang dimaksud dengan "penguasa" sebetulnya adalah kepala negara—raja maupun sultan—tapi dalam pemahaman Tahtawi dan para pembaru awal Islam, "penguasa" adalah otoritas dalam sebuah kelompok masyarakat yang mampu memengaruhi. Dalam hal ini, tokoh atau lembaga agama yang memiliki pengaruh politik di masyarakat bisa dianggap sebagai "penguasa".

Problem utama absennya kebebasan dalam Islam, menurut Tahtawi, bukan hanya datang dari penguasa politik (pemerintah), melainkan juga dari penguasa agama. Kadang kedua kekuasaan ini bergabung jadi satu, mengakibatkan keadaan makin buruk. Para pemimpin politik melarang kebebasan karena takut kekuasaannya terancam. Para tokoh agama melakukan hal serupa karena takut kehilangan otoritas sebagai petinggi agama. Kasus pelarangan terhadap kebebasan yang terjadi di Mesir kerap melibatkan dua kubu antara kekuasaan agama (yang biasanya diwakili oleh lembaga al-Azhar) dan para pembaharu Muslim yang umumnya berada di luar—atau tak sedang menjabat posisi penting dalam—lembaga itu.

Generasi Kedua

Generasi kedua gerakan pembaharuan Islam juga menganggap kebebasan sebagai kunci utama memperbaiki keadaan kaum Muslim. Para tokoh generasi ini (Muhammad Abduh yang kemudian dilanjutkan oleh murid setianya: Qassim Amin, Ali Abd al-Raziq, dan seorang murid asal Indonesia, Muhammad Tahir Djalaluddin) menganggap kebebasan sebagai modal penting merealisasikan solusi lain. Qassim Amin (1863-1908), misalnya, menganggap kebebasan sebagai prasyarat utama bagi terwujudnya gagasan emansipasi perempuan. Amin adalah tokoh Islam pertama yang lantang menyuarakan nasib kaum perempuan di dunia Islam. Baginya, persoalan kebodohan dan keterbelakangan kaum Muslim sangat erat dengan persoalan perempuan. Argumennya sebagai berikut.

Keterbelakangan bersumber pada kebodohan. Kebodohan terkait erat dengan pendidikan. Sebelum anak masuk sekolah, ia menerima pendidikan dari keluarga. Unsur terpenting dalam keluarga, menurut Amien, adalah ibu. Nasib dan masa depan seorang anak sering ditentukan ibunya. Bukan hanya ibu sebagai "sekolah pertama" (madrasat al-ula) bagi anak-anak, tapi ibu juga yang berperan besar bagi pertumbuhan tubuh dan jiwa sang anak sejak dalam kandungan. Jadi, ibu berperan sentral menentukan masa depan seseorang.

Peran penting yang dimainkan ibu (perempuan) seperti itu tak berjalan lurus dengan nasib dan perlakuan yang diterimanya. Perempuan dalam masyarakat Islam kerap mengalami diskriminasi peran. Bukan hanya dihalangi berkiprah di ruang publik, hak-hak dasar mereka untuk belajar juga kerap ditiadakan. Pada abad ke-19 situasi ketertindasan kaum Muslim adalah lumrah. Larangan bersekolah bagi perempuan dan secara umum larangan keluar rumah adalah aturan universal di mana-mana. Hanya segelintir kaum perempuan Muslim yang mendapat kemewahan bersekolah.

Karena itu, bagi Qassim Amin, solusinya adalah memberikan kesempatan luas bagi perempuan mendapat pendidikan layak. Ini bukan semata demi penegakan hak kaum perempuan yang terabaikan, tapi demi generasi masa depan kaum Muslim. Selama perempuan terabaikan, menurut Amin, selama itu pula kaum Muslim akan terbelakang dan bodoh.

Ali Abd al-Raziq (1888-1966) adalah sahabat dan pendukung Qassim Amin. Sepenuhnya ia setuju dengan gagasan emansipasi perempuan dan perlunya kaum Muslim memberi ruang bagi perempuan. Tapi, selama sistem politik yang menaungi kaum Muslim tak bersahabat pada gagasan progresif ini, selama itu pula gagasan itu tak bisa terealisasi. Yang dia maksud dengan sistem politik tak bersahabat adalah sistem pemerintahan khilafah. Ketika Abd al-Raziq berbicara tentang "khilafah", rujukannya adalah sistem pemerintahan Kerajaan Utsmaniyah. Seperti umumnya para reformis Muslim saat itu, Abd al-Raziq memandang kekhalifahan Utsmaniyah sebagai contoh buruk pemerintahan Islam. Pola hidup hedonistik para khalifah dengan harem dan kemewahan yang mengelilinginya kerap dikontraskan dengan kemiskinan dan kebodohan kaum Muslim ketika itu. Khilafah bukan sistem yang ideal, bahkan bukan sistem yang sesuai dengan nilai-nilai yang diajarkan moral Islam.

Itu sebabnya, Abd al-Raziq menolak sistem khilafah. Baginya, khilafah bukan sistem politik yang diwajibkan Islam. Ia hanya satu dari banyak pilihan ciptaan manusia. Di era modern, ketika ada sistem politik yang lebih baik, sudah seharusnya kaum Muslim menyerapnya. Mempertahankan sistem khilafah tak hanya menghabiskan energi kaum Muslim, tetapi juga melestarikan kebodohan dan keterbelakangan mereka.

Konteks Indonesia

Muhammad Tahir Djalaluddin (1869-1956) adalah murid Muhammad Abduh yang paling berjasa menyebarkan gagasan pembaharuan Islam di Indonesia. Selesai berguru kepada Abduh, ia meninggalkan Mesir. Karena situasi politik tak menguntungkan, ia tak kembali ke Indonesia, tapi transit di Singapura mulai menyebarkan gagasan pembaruannya dari sana. Di Singapura (1906) ia mendirikan majalah Islam, al-Imam. Nama ini terinspirasi dari panggilan akrab Abduh. Murid Abduh loyal dan sangat mencintai gurunya. Di Mesir mereka mendirikan kelompok diskusi yang disebut madrasat al-imam dan mendirikan partai politik yang disebut hizb al-imam.

Lewat Djalaluddin, gagasan pembaruan dan liberalisme Islam Timur Tengah disebarkan di Indonesia dan Malaysia. Tulisan al-Afghani dan Abduh dalam al-Urwat al-Wutsqa dan al-Manar diterjemahkan dan diterbitkan dalam al-Imam. Tema tentang kemajuan, kebebasan, dan emansipasi wanita mewarnai majalah ini. Majalah al-Imam jadi media Islam pertama yang menyebarkan gagasan liberalisme Islam di Indonesia. Pada 1911 majalah Islam lain, al-Munir, terbit di Sumatera. Pendirinya, Abdullah Ahmad, adalah murid Ahmad Khatib, reformis Melayu yang bermukim di Mekkah. Majalah ini, bersama al-Imam, jadi corong kaum muda menyebarkan gagasan Islam Liberal.

Memasuki kemerdekaan Indonesia, gerakan pembaruan Islam menurun. Tokoh Islam lebih banyak mencurahkan energi mengupayakan dan mengisi kemerdekaan Indonesia. Sebagian besar terlibat dalam perdebatan isu keislaman pada tahun 1930-an. Agus Salim dan Muhammad Natsir sibuk dengan politik, terlibat aktif dalam pemerintahan Soekarno-Hatta. Salim pernah menjabat sebagai menteri luar negeri; Natsir menteri penerangan kemudian perdana menteri. Mungkin karena keterlibatan mereka yang intensif dengan dunia politik, para tokoh Islam tak sempat merenung dan berefleksi mendalam terhadap persoalan pembaruan Islam.

Gerakan Islam Liberal menemukan momentumnya kembali di Indonesia pada awal 1970-an, seiring dengan perubahan politik dari era Soekarno ke Soeharto. Gerakan ini dipicu oleh munculnya generasi santri baru yang lebih banyak berkesempatan mempelajari Islam dan melakukan refleksi lebih serius atas berbagai isu sosial-keagamaan. Seperti berulang dicatat buku sejarah, tokoh paling penting dalam gerakan pembaruan ini adalah Nurcholish Madjid, sarjana Islam yang memiliki semua syarat menjadi pembaharu. Lahir dan tumbuh dari keluarga santri taat, Nurcholish adalah penulis dan pembicara yang baik. Ia menguasai bahasa Arab dan Inggris. Kefasihannya berbicara tentang teori ilmu sosial sama baiknya dengan uraiannya tentang khazanah Islam. Nurcholish adalah penerus sempurna gerakan pembaruan Islam yang telah dimuali sejak abad ke-19.

Selama kiprahnya menjadi intelektual liberal, Nurcholish banyak melontarkan gagasan yang mencerahkan dan membangkitkan kuriositas orang. Sumbangan yang paling besar bagi Indonesia adalah gagasannya tentang sekularisasi. Nurcholishlah cendikiawan pertama yang meyakinkan kaum Muslim Indonesia: menjadi seorang Muslim yang baik tak harus berafiliasi kepada partai Islam. Memperjuangkan Islam tak harus lewat lembaga atau partai dengan nama Islam. Baginya, Islam bisa diperjuangkan dengan berbagai cara, lewat berbagai medium. Pandangan ini cukup ampuh. Tiga dekade kemudian, dalam dua Pemilu (1999 dan 2004) tak banyak kaum Muslim yang tertarik dengan partai Islam dan agenda negara Islam, yang pada tahun 1960-an dianggap sakral.

Nurcholish tak sendirian. Menjelang tahun 1980-an, gerbong Islam Liberal diperkuat dengan semakin banyaknya intelektual santri yang muncul. Harun Nasution, Abdurrahman Wahid, Munawir Sjadzali, dan Ahmad Syafii Maarif adalah di antara para eksponen pembaruan yang mewarnai kancah pemikiran Islam dasawarsa 1980-an dan 1990-an. Semua intelektual ini menganggap diri sebagai penerus cita-cita kebangkitan (nahdah) dalam semangat Abduh, Qassim Amin, Ali Abd al-Raziq, dan Muhammad Iqbal. Tulisan dan refleksi mereka tersebar di media massa. Gagasan pembaruan mereka dikaji dan disebarkan generasi lebih muda di Universitas Islam Negeri (UIN) maupun Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah.

JIL

Pada 2001 Jaringan Islam Liberal (JIL) didirikan di Jakarta. Organisasi (lebih tepatnya gerakan) ini melengkapi munculnya organisasi Islam serupa yang sudah ada lebih dulu: Rahima, Lakpesdam, Puan Amal Hayati, Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M), dan Lembaga Kajian Agama dan Jender (LKAJ). Sejak awal, JIL diniatkan sebagai payung atau penghubung organisasi Islam Liberal yang ada di Indonesia. Karena itu, gerakan ini tak memakai nama organisasi atau lembaga, tapi jaringan. Dengan nama jaringan, JIL berusaha jadi komunitas tempat para aktivis Muslim berbagai organisasi Islam Liberal berinteraksi dan bertukar pandangan secara bebas.

Lewat programnya, seperti diskusi publik, talkshow, sindikasi media, dan workshop, JIL berusaha konsisten, mempromosikan dan menyebarluaskan gagasan nahdah. Perhatian utama JIL: bagaimana menciptakan dan menjaga ruang kebebasan di Indonesia. Sebagaimana tokoh Islam Liberal awal, JIL meyakini kebebasan adalah kunci bagi kesejahteraan dan kebahagiaan. Tak ada kebahagiaan tanpa kesejahteraan dan tak ada kesejahteraan tanpa kebebasan.

Maret ini tak terasa JIL memasuki usia keenam. Sebagai gerakan, ia masih muda. Sebagai pemikiran, JIL adalah ujung dari mata rantai gerakan pembaharuan Islam yang sudah berusia lebih dari dua abad. Orang yang menyadari betapa penting merawat cita-cita nahdah pasti akan gembira dengan ulang tahun JIL sebab ulang tahun JIL bukanlah perayaan sekelompok orang, tapi perayaan sebuah gerakan pencerahan bagi umat Islam di Indonesia. Selamat merayakan ulang tahun JIL. Selamat merayakan kebebasan.

Luthfi Assyaukanie, Pendiri JIL, Peneliti Freedom Institute, dan Dosen Universitas Paramadina, Jakarta

Tidak ada komentar: