Selasa, 18 September 2007

Seputar G30S 1965



G30S (1)

Oleh Harsutejo

Pada dini hari menjelang subuh 1 Oktober 1965 sekelompok militer yang kemudian menamakan diri sebagai Gerakan 30 September melakukan penculikan 7 orang jenderal AD. Jenderal Nasution dapat meloloskan diri, sedang yang ditangkap ialah pengawalnya. Lolosnya jenderal ini telah dibayar dengan nyawa putrinya yang kemudian tewas diterjang peluru. Keenam orang jenderal teras AD yang diculik dan kemudian dibunuh itu terdiri dari: Letjen Ahmad Yani (Men/Pangad), Mayjen Suprapto (Deputi II Men/Pangad), Mayjen Haryono MT (Deputi III Men/Pangad), Mayjen S Parman (Asisten I Men/Pangad), Brigjen DI Panjaitan (Asisten IV Men/Pangad), Brigjen Sutoyo (Oditur Jenderal AD).

Pada pagi-pagi 1 Oktober 1965, sebelum orang mengetahui apa yang sebenarnya terjadi, Kolonel Yoga Sugomo sebagai Asisten I Kostrad/Intelijen serta merta menyatakan bahwa hal itu pasti perbuatan PKI, ketika pengumuman RRI Jakarta pada jam 07.00 menyampaikan tentang Gerakan 30 September di bawah Letkol Untung. Maka Yoga pun memerintahkan, “Siapkan semua penjagaan, senjata, bongkar gudang. Ini PKI berontak”. Jangan-jangan Kolonel Yoga, Kostrad, dan - siapa lagi kalau bukan Jenderal Suharto – telah mengantongi skenario jalannya drama tragedi yang sedang dan hendak dipentaskan kelanjutannya. Tentu saja pertanyaan ini amat mengggoda karena dokumen-dokumen rahasia CIA pun mengungkapkan berbagai skenario semacam itu dengan diikuti dijatuhkannya Presiden Sukarno sebagai babak penutup.

Menurut tuduhan dan pengakuan Letkol (Inf) Untung, Komandan Batalion I Resimen Cakrabirawa, pasukan pengawal Presiden RI yang secara formal memimpin Gerakan 30 September, para jenderal tersebut menjadi anggota apa yang disebut Dewan Jenderal yang hendak melakukan kudeta terhadap kekuasaan Presiden Sukarno yang sah pada 5 Oktober 1965. Karena itu Letkol Untung sebagai insan revolusi sesuai dengan ajaran resmi yang didengungkan ketika itu, mengambil tindakan dengan menangkap mereka guna dihadapkan kepada Presiden. Dalam kenyataannya mereka dibunuh ketika diculik atau di Lubang Buaya, Jakarta.

Tentang pembunuhan yang tidak patut ini terjadi sejumlah kontroversi. Menurut pengakuan Letkol Untung hal itu menyimpang dari perintahnya. Dalam hubungan ini telah timbul berbagai macam penafsiran yang berhubungan dengan kegiatan intelijen berbagai pihak, pihak intelijen militer Indonesia, Syam Kamaruzaman sebagai Ketua Biro Chusus (BC) PKI, intelijen asing, utamanya CIA, dalam arena perang dingin yang memuncak antara Blok Amerika versus Blok Uni Soviet dengan Blok RRT yang anti AS maupun Uni Soviet. Menurut pengakuan Syam, pembunuhan itu atas perintah Aidit, Ketua PKI. Pembunuhan demikian sangat tidak menguntungkan pihak PKI yang dituduh sebagai dalang G30S, akan dengan mudahnya menyulut emosi korps AD melawan PKI, sesuatu yang pasti tak dikehendaki Aidit dan sesuatu yang tidak masuk akal. Dengan dibunuhnya Aidit atas perintah Jenderal Suharto, maka pengakuan Syam yang berhubungan dengan Aidit sama sekali tak dapat diuji kebenarannya. Dengan begitu Syam memiliki keleluasaan untuk menumpahkan segala macam sampah yang dikehendakinya maupun yang dikehendaki penguasa ke keranjang sampah bernama DN Aidit.

Banyak pihak menafsirkan bahwa Syam ini merupakan agen intelijen kepala dua (double agent), atau bahkan tiga atau lebih. Hal ini di antaranya ditengarai dari pengakuannya yang terus-menerus merugikan PKI dan Aidit. Ini berarti dia yang posisinya sebagai Ketua BC CC PKI, pada saat itu menjadi agen yang sedang mengabdi pada musuh PKI. Dari riwayat Syam ada bayang-bayang buram misterius yang rupanya berujung pada pihak AD, khususnya Jenderal Suharto. Aidit yang dituduh sebagai dalang G30S yang seharusnya dikorek keterangannya di depan pengadilan segera dibungkam karena keterangan dirinya tidak akan menguntungkan skenario Mahmillub yang dibentuk atas perintah Jenderal Suharto sebagaimana yang telah dimainkan oleh Syam atas nama Ketua PKI Aidit.

Keterangan Syam mengenai perintah Aidit tentang pembunuhan para jenderal tidak dapat diuji kebenarannya dan tidak dapat dipercaya. Beberapa pihak di Mahmillub menyebutnya perintah itu dari Syam, tetapi siapa yang memerintahkan dirinya? Pertanyaan ini mau-tidak-mau perlu dilanjutkan dengan pertanyaan, siapa yang diuntungkan oleh pembunuhan para jenderal itu? Bung Karno tidak, Nasution tidak, Aidit pun tidak. Hanya ada satu orang yang diuntungkan: Jenderal Suharto! Jika Jenderal Yani tidak ada maka menurut tradisi AD Suharto-lah yang menggantikannya. Hal ini terbukti dari kenyataan bahwa ketika Presiden Sukarno menunjuk Jenderal Pranoto sebagai pengganti sementara pada 1 Oktober 1965, maka Jenderal Suharto menentang keras. Jelas dia berambisi menjadi satu-satunya pengganti yang akan memanjat lebih jauh ke atas, padahal ketika itu nasib Jenderal Yani cs belum diketahui jelas.

Perlu ditambahkan bahwa rencana pengambilan [penculikan] para jenderal telah diketahui beberapa hari sebelumnya serta beberapa jam sebelum kejadian berdasarkan laporan Kolonel Abdul Latief, bekas anak buah Suharto yang menjadi salah seorang penting dalam G30S. Jenderal Suharto sebagai Panglima Kostrad tidak mengambil langkah apa pun, justru hanya menunggu. Kenyataan ini membuat kecewa dan dipertanyakan salah seorang bekas tangan kanan Suharto yang telah berjasa mengepung Istana Merdeka pada 11 Maret 1966, Letjen (Purn) Kemal Idris. Masih dapat ditambahkan lagi bahwa keenam jenderal yang dibunuh tersebut memiliki riwayat permusuhan internal dengan Suharto karena Suharto melakukan korupsi sebagai Pangdam Diponegoro.

Ada fakta sangat keras, dua batalion AD dari Jateng dan Jatim yang didatangkan ke Jakarta dengan senjata lengkap dan peluru tajam yang kemudian mendukung pasukan G30S, semua itu atas perintah Panglima Kostrad Mayjen Suharto yang diinspeksinya pada 30 September 1965 jam 08.00. Tentunya dia pun mengetahui dengan tepat kekuatan dan kelemahan pasukan tersebut beserta jejaring intelijennya, di samping adanya tali-temali dengan intelijen Kostrad lewat tangan Kolonel Ali Murtopo. Tentu saja masalah ini tak pernah diselidiki, jika dilakukan hal itu dapat membuka kedok Suharto menjadi telanjang di depan korps TNI AD ketika itu. Mungkin saja jejaring Suharto yang telah melumpuhkan logistik kedua batalion tersebut, hingga Yon 530 dan dua kompi Yon 434 melapor dan minta makan ke markas Kostrad pada sore hari 1 Oktober 1965. Kedua pasukan ini bersama pasukan Letkol Untung dihadapkan pada pasukan RPKAD. Itulah sejumlah indikasi kuat keterlibatan Jenderal Suharto dalam G30S, ia bermain di dua kubu yang dia hadapkan dengan mengorbankan 6 jenderal.

Lalu siapa yang diuntungkan dengan dibunuhnya Aidit? PKI dan Bung Karno pasti tidak, lawan-lawan politik PKI jelas senang (meski ada juga yang kemudian menyesalkan, kenapa tidak dikorek keterangannya di depan pengadilan), di puncaknya ialah Jenderal Suharto yang memang memerintahkannya. Jika Aidit diberi kesempatan bicara di pengadilan, maka dia akan mempunyai kesempatan membeberkan peran dirinya dalam G30S yang sebenarnya, bukan sekedar menelan keterangan Syam di Mahmillub sesuai dengan kepentingan Suharto cs. Jika ini berlaku maka skenario yang telah tersusun akan kacau.

Sejak 4 Oktober 1965, ketika dilakukan penggalian jenazah para jenderal di Lubang Buaya, maka disiapkanlah skenario yang telah digodok dalam badan intelijen militer untuk melakukan propaganda hitam terhadap PKI dimulai dengan pidato fitnah Jenderal Suharto tentang penyiksaan kejam dan biadab, Lubang Buaya sebagai wilayah AURI. Hari-hari selanjutnya dipenuhi dengan dongeng horor fitnah keji tentang perempuan Gerwani yang menari telanjang sambil menyilet kemaluan para jenderal dan mencungkil matanya. Ini semua bertentangan dengan hasil visum dokter yang dilakukan atas perintah Jenderal Suharto sendiri yang diserahkan kepadanya pada 5 Oktober 1965. Kampanye hitam terhadap PKI terus-menerus dilakukan secara berkesinambungan oleh dua koran AD Angkatan Bersendjata dan Berita Yudha, RRI dan TVRI yang juga telah dikuasai AD, sedang koran-koran lain diberangus. Ketika sejumlah koran lain diperkenankan terbit, semuanya harus mengikuti irama dan pokok arahan AD. Seperti disebutkan dalam studi Dr Saskia Eleonora Wieringa, mungkin tak ada rekayasa lebih berhasil untuk menanamkan kebencian masyarakat daripada pencitraan Gerwani (gerakan perempuan kiri) yang dimanipulasi sebagai “pelacur bejat moral”. Kampanye ini benar-benar efektif dengan memasuki dimensi moral religiositas manusia Jawa, khususnya kaum adat dan agama.

Setelah lebih dari dua minggu propaganda hitam terhadap PKI dan organisasi kiri lain berjalan tanpa henti, ketika emosi rendah masyarakat bangkit dan mencapai puncaknya dengan semangat anti komunis anti PKI yang disebut sebagai golongan manusia anti-agama dan anti-Tuhan, kafir dst yang darahnya halal, maka situasi telah matang dan tiba waktunya untuk melakukan pembasmian dalam bentuk pembunuhan massal. Dan itulah yang terjadi di Jawa Tengah setelah kedatangan pasukan RPKAD di bawah Kolonel Sarwo Edhie Wibowo sesudah minggu ketiga Oktober 1965, selanjutnya di Jawa Timur pada minggu berikutnya dan Bali pada Desember 1965/Januari 1966. Sudah sangat dikenal pengakuan Jenderal Sarwo Edhie yang membanggakan telah membasmi 3 juta jiwa manusia.

Dalam khasanah sejarah G30S ada gambaran yang disesatkan bahwa situasinya seolah waktu itu “dibunuh atau membunuh” seperti dalam perang saudara. Ini sama sekali tidak benar, tidak ada buktinya. Hal ini dengan sengaja diciptakan sesuai dengan kepentingan rezim militer Suharto guna melegitimasi kekejaman mereka. Situasi telah dimatangkan oleh propaganda hitam pihak militer di bawah Jenderal Suharto beserta segala peralatannya yang menyinggung nilai-nilai moral dan agama tentang perempuan sundal Gerwani sebagai yang digambarkan dalam dongeng horor Lubang Buaya. Emosi ketersinggungan kaum agama beserta nilai-nilai moralnya ditingkatkan sampai ke puncaknya untuk menyulut dan memuluskan pembantaian anggota PKI dan kaum kiri lainnya yang disebut sebagai kaum kafir yang dilakukan pihak militer dengan memperalat sebagian rakyat yang telah terbakar emosinya.

Setelah seluruh organisasi kiri, utamanya PKI dihancurlumatkan, sisa-sisa anggotanya dipenjara, maka datang waktunya untuk menghadapi dan menjatuhkan Presiden Sukarno yang kini dalam keadaan terpencil diisolasi. Dikepunglah Istana Merdeka oleh pasukan AD di bawah pimpinan Kemal Idris, pada saat Presiden Sukarno sedang memimpin rapat kabinet yang tidak dihadiri Jenderal Suharto pada 11 Maret 1966 yang ujungnya telah kita ketahui bersama berupa Supersemar. Kudeta merangkak ini dilanjutkan dengan pengukuhan Jenderal Suharto sebagai Pejabat Presiden (sesuatu yang menyimpang dari UUD 1945, tak satu pun pakar yang berani buka mulut ketika itu), selanjutnya sebagai Presiden RI. Maka berlanjutlah pemerintahan diktator militer selama lebih dari tiga dekade yang menjungkirbalikkan segalanya, sampai akhirnya Indonesia menjadi salah satu negara terkorup di dunia dengan utang sampai ke ubun-ubun.

G30S di bawah pimpinan Letkol Untung dirancang untuk gagal, artinya ada rancangan lain yang tidak pernah diumumkan alias rancangan gelap di balik layar dengan dalang-dalang yang penuh perhitungan untuk melaksanakan adegan yang satu dengan yang lain. Maka tidak aneh jika mantan pejabat CIA Ralph McGehee berdasar dokumen rahasia CIA menyatakan sukses operasi CIA di Indonesia sebagai contoh soal, “supaya metode yang dipakai CIA dalam kudeta di Indonesia yang dianggap sebagai penuh kepiawaian sehingga ia digunakan sebagai suatu tipe rancangan atau denah operasi-operasi terselubung di masa yang akan datang”. Itulah kudeta merangkak yang dilakukan oleh Jenderal Suharto sejak pembunuhan para jenderal, pengusiran BK dari Halim, pembunuhan massal, pengepunngan Istana Merdeka pada 11 Maret 1966, akhirnya dijatuhkannya Presiden Sukarno. Keberhasilan operasi AS di Indonesia disebut Presiden Nixon sebagai hadiah paling besar di wilayah Asia Tenggara

Untuk melegitimasi segala tindakann dan memperkokoh kedudukannya, rezim militer Orba menamakan gerakan Letkol Untung tersebut dengan G30S/PKI, pendeknya nama keduanya saling dilekatkan. G30S ya PKI, bukan yang lain. Di sepanjang kekuasannya rezim ini terus-menerus tiada henti mengindoktrinasi dan menjejali otak kita semua, kaum muda dan anak-anak sekolah dengan kampanye ini. Ketika studi sejarah di Indonesia tak lagi bisa dikekang, maka banyak pakar menolak kesahihan penyebutan tersebut. Studi netral hanya menyebut Gerakan 30 September sebagaimana yang tercantum dalam pengumuman gerakan di RRI Jakarta pada pagi hari 1 Oktober 1965, atau disingkat untuk keperluan praktis sebagai G30S. Masih ada arus balik riak yang membakari buku dalam tahun ini karena berbeda dengan kepentingan rezim atau pejabat rezim sebagai bagian dari vandalisme masa lampau.

Gestapu, Gestok (2)

Gerakan 30 September merupakan nama “resmi” gerakan sesuai dengan apa yang telah diumumkan oleh RRI Jakarta pada pagi hari 1 Oktober 1965. Nama ini untuk keperluan praktis media massa kemudian ditulis dengan G-30-S atau G30S. Sedang Gestapu (Gerakan September Tiga Puluh) suatu nama yang dipaksakan agar berkonotasi dengan Gestapo-nya Hitler yang tersohor keganasannya itu. Rupanya sang konseptor, Brigjen Sugandhi, pimpinan koran Angkatan Bersenjata, telah banyak belajar dari sejarah dan jargon nazi Jerman. Jelas nama ini merupakan pemaksaan dengan memperkosa kaidah bahasa Indonesia (dengan hukum DM), kepentingan politik menghalalkan segala cara. Nama Gestapu digalakkan secara luas melalui media massa, sedang dalam buku tulisan Nugroho Notosusanto maupun Buku Putih digunakan istilah G30S/PKI. Barangkali ini merupakan standar ganda yang dengan sengaja dilakukan; yang pertama untuk menggalakkan konotasi jahat Gestapo dengan Gestapu/PKI, sementara buku yang ditulis oleh pakar sejarah itu bernuansa “lebih ilmiah” bahwa G30S ya PKI.

Sementara itu sejumlah pakar asing dalam karya-karyanya menggunakan istilah Gestapu ciptaan Orde Baru ini. Mungkin ada di antara mereka sekedar mengutip istilah yang digunakan begitu luas dan gencar oleh media massa Orba secara membebek tidak kritis. Dengan demikian dari istilah yang digunakan saja tulisan itu sudah memulai sesuatu dengan berpihak secara politik kepada rezim Orba yang berkuasa. Di antara pakar ini, Prof Dr Victor M Fic, seorang sejarawan Kanada, telah menulis buku yang “menghebohkan” itu karena secara murahan menuduh Bung Karno sebagai dalang G30S. Di seluruh bukunya ia menggunakan istilah Gestapu, ketika dia menggunakan istilah netral ‘Gerakan 30 September’ selalu diikuti dalam kurung (GESTAPU).

Sementara orang mengartikan penamaan Gestok (Gerakan 1 Oktober) hanya untuk gerakan yang dilakukan oleh Mayjen Suharto pada tanggal tersebut daripada gerakan Letkol Untung. Tetapi mungkin saja bahwa yang dimaksud Bung Karno adalah gerakan yang dilakukan Letkol Untung menculik sejumlah jenderal dan kemudian membunuhnya (terlepas dari adanya komplotan lain dalam gerakan yang melakukan pembunuhan itu). Penamaan itu juga terhadap gerakan Mayjen Suharto yang dilakukan menghadapi gerakan Untung serta mencegah kepergian Jendral Pranoto dan Umar Wirahadikusuma menghadap Presiden ke PAU Halim, sekaligus mengambilalih wewenang Men/Pangad Jenderal Yani yang sudah dipegang oleh Presiden Sukarno serta membangkang terhadap perintah-perintah Presiden untuk tidak melakukan gerakan militer.

Tentu saja penamaan Gestok tidak disukai oleh rezim Orba. Dalam pidatonya pada 21 Oktober 1965 di depan KAMI di Istora Senayan, Presiden Sukarno menyebutkan, “..Orang yang tersangkut pada Gestok harus diadili, harus dihukum, kalau perlu ditembak mati... Tetapi marilah kita adili pula terhadap pada golongan yang telah mengalami peruncingan seperti Gestok itu tadi”. Mungkin sekali ini maksudnya setelah pelaku peristiwa 1 Oktober (Untung cs) yang hanya berumur sehari itu diadili, maka juga terhadap pelaku yang membuat runcing persoalan sesudah itu, siapa lagi kalau bukan Jenderal Suharto cs. Dalam pidato Pelengkap Nawaksara di Istana Merdeka pada 10 Januari 1967 Presiden Sukarno dengan jelas menyebut pembunuhan para jenderal itu dengan Gestok lalu dilanjutkan dengan bertemunya tiga sebab (a) keblingernya pimpinan PKI, (b) kelihaian subversi Nekolim, (c) adanya oknum “yang tidak benar”.

Dalam dokumen yang disebut “Dokumen Slipi” yang berisi hasil pemeriksaan Bung Karno sebagai saksi ahli dalam perkara Subandrio dan merupakan kesaksian terakhir BK (1968), “...1 Oktober 1965 bagi saya adalah malapetaka, karena gerakan yang melawan G30S pada 1 Oktober 1965 itu telah melakukan pembangkangan terhadap diri saya, sejak saat itu gerakan yang melawan G30S tidak tunduk pada perintah saya, maka saya berpendapat G30S lawannya Gestok...”. Jika dokumen ini memang benar adanya, hal itu sesuai dengan seluruh perkembangan kejadian serta analisis BK tentang G30S tersebut di atas. Brigjen Suparjo segera menghentikan gerakan G30S sementara Mayjen Suharto meneruskan Gestok-nya. Tetapi sejarah juga menunjukkan bahwa Presiden Sukarno tidak mengambil tindakan apa pun terhadap jenderal yang satu ini, justru melegitimasi dengan mengukuhkan kedudukannya.

Sebenarnyalah peristiwa G30S di Jakarta hanya berlangsung selama satu hari, sementara di Jawa Tengah yang tertinggal itu berlangsung beberapa hari (sesuatu yang aneh dan perlu dikaji lebih lanjut). Gerakan selanjutnya, yang disebut BK Gestok, dilakukan oleh Mayjen Suharto dengan menentang dan menantang perintah Presiden dengan menindas PKI dan gerakan kiri lainnya, membantai rakyat dan pendukung BK, ujungnya menjatuhkan Presiden Sukarno. Inilah tragedi sebenarnya dengan pembukaan pembunuhan enam orang jenderal dan seorang perwira pertama oleh pihak militer sendiri.

Lubang Buaya (3)

Pada 1 Oktober 1965 telah terjadi penculikan dan pembunuhan enam orang jenderal dan seorang perwira pertama AD yang kemudian dimasukkan ke sebuah sumur tua di desa Lubang Buaya, Pondokgede oleh pasukan militer G30S. Pasukan ini berada di bawah pimpinan Letkol Untung, Komandan Batalion I Resimen Cakrabirawa, pasukan pengawal Presiden.

Pada 4 Oktober 1965, ketika dilakukan penggalian jenazah para jenderal di Lubang Buaya, Mayjen Suharto, Panglima Kostrad menyampaikan pidato yang disiarkan luas yang menyatakan bahwa para jenderal telah dianiaya sangat kejam dan biadab sebelum ditembak. Dikatakan olehnya bahwa hal itu terbukti dari bilur-bilur luka di seluruh tubuh para korban. Di samping itu Suharto juga menuduh, Lubang Buaya berada di kawasan PAU Halim Perdanakusuma, tempat latihan sukarelawan Pemuda Rakyat dan Gerwani. Perlu disebutkan bahwa Lubang Buaya terletak di wilayah milik Kodam Jaya. Di samping itu disiarkan secara luas foto-foto dan film jenazah yang telah rusak yang begitu mudah menimbulkan kepercayaan tentang penganiayaan biadab itu. Hal itu diliput oleh media massa yang telah dikuasai AD, yakni RRI dan TVRI serta koran milik AD Angkatan Bersendjata dan Berita Yudha. Sementara seluruh media massa lain dilarang terbit sejak 2 Oktober.

Jadi sudah pada 4 Oktober itu Suharto menuduh AURI, Pemuda Rakyat dan Gerwani bersangkutan dengan kejadian di Lubang Buaya. Selanjutnya telah dipersiapkan skenario yang telah digodok dalam badan intelijen militer untuk melakukan propaganda hitam terhadap PKI secara besar-besaran dan serentak. Dilukiskan terdapat kerjasama erat dan serasi antara Pemuda Rakyat dan Gerwani serta anggota ormas PKI lainnya dalam melakukan penyiksaan para jenderal dengan menyeret, menendang, memukul, mengepruk, meludahi, menghina, menusuk-nusuk dengan pisau, menoreh silet ke mukanya. Dan puncaknya kaum perempuan Gerwani itu dilukiskan sebagai telah kerasukan setan, menari-nari telanjang yang disebut tarian harum bunga, sambil menyanyikan lagu Genjer-genjer, lalu mecungkil mata korban, menyilet kemaluan mereka, dan memasukkan potongan kemaluan itu ke mulutnya....

Maaf pembaca, itu semua bukan lukisan saya tapi hal itu bisa kita baca dalam koran-koran Orba milik AD yang kemudian dikutip oleh media massa lain yang boleh terbit lagi pada 6 Oktober dengan catatan harus membebek sang penguasa serta buku-buku Orba. Lukisan itu pun bisa kita dapati dalam buku Soegiarso Soerojo, pendiri koran AB, yang diterbitkan sudah pada 1988, .Siapa Menabur Angin Akan Menuai Badai. Anda juga dapat menikmatinya dalam buku Arswendo Atmowiloto yang direstui oleh pihak AD, Pengkhianatan G30S/PKI, yang dipuji sebagai transkrip novel yang bagus dari film skenario Arifin C Noer dengan judul yang sama yang wajib ditonton oleh rakyat dan anak sekolah khususnya selama bertahun-tahun. Dan jangan lupa, fitnah ini diabadikan dalam diorama pada apa yang disebut Monumen Pancasila Sakti di Lubang Buaya. Meski monumen ini berisi fitnah, tapi kelak jangan sampai dihancurkan, tambahkanlah satu plakat yang mudah dibaca khalayak: “Di sini berdiri monumen kebohongan perzinahan politik”, agar kita semua belajar bahwa pernah terjadi suatu rezim menghalalkan segala cara untuk menopang kekuasaannya dengan fitnah paling kotor dan keji pun. Penghormatan terhadap para jenderal yang dibunuh itu ditunggangi Suharto dengan fitnah demikian.

Fitnah hitam dongeng horor itu semua bertentangan dengan hasil visum et repertum tim dokter yang dilakukan atas perintah Jenderal Suharto sendiri yang diserahkan kepadanya pada 5 Oktober 1965, bahwa tidak ada tanda-tanda penyiksaan biadab, mata dan kemaluan korban dalam keadaan utuh. Laporan resmi tim dokter itu sama sekali diabaikan dan tak pernah diumumkan. Kampanye hitam terhadap PKI terus-menerus dilakukan secara berkesinambungan selama bertahun-tahun tanpa jeda. Dalil intelijen menyatakan bahwa kebohongan yang terus-menerus disampaikan akhirnya dianggap sebagai kebenaran. Bahkan sampai dewasa ini pun, ketika informasi sudah dapat diperloleh secara bebas terbuka, fitnah itu masih dimamahbiak oleh sementara kalangan seperti buta informasi.

Apa tujuan kampanye hitam fitnah itu? Hal ini dimaksudkan untuk mematangkan situasi, membangkitkan emosi rakyat umumnya dan kaum agama khususnya menuju ke pembantaian massal para anggota PKI dan yang dituduh PKI sesuai dengan doktrin membasmi sampai ke akar-akarnya. Dengan gencarnya kampanye hitam itu, maka telah berkembang biak dengan berbagai peristiwa di daerah dengan kreatifitas dan imajinasi para penguasa setempat. Selama kurun waktu 1965-1966 jika di pekarangan rumah seseorang ada lubang, misalnya untuk dipersiapkan menanam sesuatu atau sumur tua tak terpakai, apalagi jika si pemilik dicurigai sebagai orang PKI, maka serta-merta ia dapat ditangkap, ditahan dan bahkan dibunuh dengan tuduhan telah mempersiapkan “lubang buaya” untuk mengubur jenderal, ulama atau dan tokoh-tokoh lawan politik PKI setempat. Dongeng tersebut masih dihidup-hidupkan sampai saat ini.

Segala macam dongeng fitnah busuk berupa temuan “lubang buaya” yang dipersiapkan PKI dan konco-konconya untuk mengubur lawan-lawan politiknya ini bertaburan di banyak berita koran 1965-1966 dan terekam juga dalam sejumlah buku termasuk buku yang ditulis Jenderal Nasution, yang dianggap sebagai peristiwa dan fakta sejarah, bahkan selalu dilengkapi dengan apa yang disebut “daftar maut” meskipun keduanya tak pernah dibuktikan sebagai kejadian sejarah maupun bukti di pengadilan.

Seorang petani bernama Slamet, anggota BTI yang tinggal di pelosok dusun di Jawa Tengah yang jauh dari jangkauan warta berita suatu kali mempersiapkan enam lubang untuk menanam pisang di pekarangannya. Suatu siang datang sejumlah polisi dan tentara dengan serombongan pemuda yang menggelandang dirinya ketika ia sedang menggali lubang keenam. Tuduhannya ia tertangkap basah sedang mempersiapkan lubang untuk mengubur Pak Lurah dan para pejabat setempat. Dalam interogasi terjadi percakapan seperti di bawah.

“Kamu sedang mempersiapkan lubang buaya untuk mengubur musuh-musuhmu!”
Lho kulo niki bade nandur pisang, lubang boyo niku nopo to Pak?” [saya sedang hendak menanam pisang, lubang buaya itu apa Pak?]
Lubang boyo iku yo lubange boyo sing ana boyone PKI!” [lubang buaya itu lubang yang ada buaya milik PKI]. Baik pesakitan yang bernama Slamet maupun polisi yang memeriksanya tidak tahu apa sebenarnya lubang buaya itu, mereka tidak tahu bahwa Lubang Buaya itu nama sebuah desa di Pondokgede, Jakarta. Dikiranya di situ lubang yang benar-benar ada buayanya milik PKI. Ini bukan anekdot tetapi kenyataan pahit, si Slamet akhirnya tidak selamat alias dibunuh karena adanya “bukti telak” terhadap tuduhan tak terbantahkan. Demikian rekaman yang saya sunting dari wawancara HD Haryo Sasongko dalam salah satu bukunya.

Jumat, 14 September 2007

Sejarah Revolusi Rusia



Revolusi tahun 1905

Oleh Tess Lee Ack

Teori-teori revolusioner tidak muncul secara spontan dalam otak para pemikir. Teori itu muncul sebagai akibat dari pengalaman praktis, terutama pengalaman perjuangan. Hal ini terbukti dalam revolusi tahun 1905. Seusai revolusi tersebut, Leon Trotsky mengkaji kembali pengalamannya, lantas merumuskan teori "revolusi permanen" yang meramalkan pola perkembangan revolusi tahun 1917. Sementara Rosa Luxemburg, yang juga ikut berperan dalam revolusi tahun 1905, menulis bukunya tentang pemogokan massa. Dan revolusi tahun 1905 itu sering disebut The Great Dress Rehearsal (latihan penutup) untuk perisitiwa tahun 1917.

Pada awal abad XX, pemerintahan Rusia dipegang oleh Tsar secara otokratik, tanpa lembaga-lembaga demokrasi apapun. Mayoritas besar penduduk adalah petani yang hidup dalam kondisi semi-feodal. Meski demikian, kapitalisme sudah agak mapan. Sebagian besar industri manufaktur diarahkan untuk memenuhi kebutuhan militer negara, tetapi ada industri garmen dan tekstil yang besar pula yang mempekerjakan banyak perempuan.

Kapitalisme berkembang di Rusia agak terlambat. Hal ini berakibat cukup paradoks: pabrik-parbrik yang ada di Rusia bersifat amat modern dan berukuruan besar. Kelas buruh masih relatif kecil, tetapi terkonsentrasi di tempat-tempat kerja modern, canggih dan besar -- jauh berbeda dari pabrik-pabrik kecil yang menyifati tahap-tahap pertama revolusi industri di Inggeris. Inilah yang dijuluki oleh Trotsky sebagai fenomena "perkembangan gabungan".

Kelas pekerja muda sudah melakukan perjuangan yang hebat. Pada tahun 1896 kaum buruh tekstil di ibukota St Petersburg menyelenggarakan pemogokan massa yang pertama. Dalam dua tahun berikutnya, jumlah aksi mogok bertambah dengan cepat. Namun pemerintah meresponnya dengan represi tajam, sedangkan ekonomi Rusia agak merosot, sehingga perjuangan buruh meredam lagi untuk sementara.

Waktu itu sudah ada kelompok-kelompok revolusioner, termasuk Partai Sosial Demokratik Buruh Rusia. Dalam partai tersebut timbul dua faksi yang namanya grup Bolsyevik dan grup Mensyevik (artinya "mayoritas" dan "minoritas"). Mereka sering terkena represi dan para pimpinan mereka tak jarang meringkuk, namun semakin berpengaruh dalam rakyat. Kepala kepolisian mengucapkan keprihatinannya atas pengaruh tersebut:
Selama 3-4 tahun ini, anak-anak Rusia kita yang dulu begitu gampang-gampangan, kian menjelma menjadi semacam unsur intelektual yang separo melek huruf; mereka merasa berkewajiban untuk meremehkan agama dan keluarga, tidak menggubris undang-undang yang ada, serta mentertawakan pihak yang berwenang.
Pada tahun 1904 Rusia berperang dengan Jepang. Mula-mula perang itu merangsang segelombang sentimen patriotis, sementara jumlah aksi mogok anjlok. Namun tidak lama lagi keantusiasan itu menyurut, karena rakyat harus menanggung biaya perang tersebut. Upah kaum buruh turun 25 persen. Di garis depan, para pimpinan militer melakukan kesalahan-kesalahan besar sehingga Rusia akhirnya kalah di medan perang.

Pada bulan Desember 1905 terjadi beberapa aksi mogok. Empat buruh dipecat. Kemudian kaum buruh menyelenggarkan sebuah pemogokan umum di ibukota. Seorang pendeta, Bapak Gapon, mengusulkan agar kaum pekerja pergi ke Istana, guna meminta pertolongan Tsar, yang saat itu masih dipercayai oleh rakyat. Para pekerja menysun sebuah petisi, yang memuat tidak hanya tuntutan ekonomi normatif tetapi juga tuntutan politik, seperti kebebasan berbicara, kebebasan pers, tanah untuk kaum penggarap, semacam parlemen, dan penyelesaian perang. Tuntutan ini mencerminkan pengaruh kaum sosialis revolusioner, dan agak melebihi apa yang dibayangkan si Bapak Gapon (yang sebenarnya seorang intel).

Pada tanggal 9 Januari 1905, ribuan buruh berbondong-bondong ke Istana. Banyak yang menyanyikan hymne-hymne serta membawa gambaran Tsar. Tsar menolak untuk bertemu mereka, lantas tentara menembaki massa. Seribu lebih orang kehilangan nyawa, dua ribu luka-luka. Hari itu kemudian dijuluki "Hari Minggu Berdarah". Kaum buruh melakukan sebuah pemogokan umum di St Petersburg, yang kemudian meluas ke kota-kota lain. Satu ciri yang menyolok dari pemogokan tersebut adalah bahwa tuntutan ekonomi dan tuntutan politik bertumpang-tindih dan saling menguat. Banyak majikan yang terpaksa menyerahkan konsesi, dan di berbagai daerah kaum buruh memenangkan sejumlah hak politik. Partai-partai kiri dapat bergerak dengan cukup terbuka.

Pada bulan Agustus, Tsar menyetujui terbentuknya Duma, semacam parlemen. Namun Duma itu hanya dimaksudkan sebagai badan konsultatif, dan di situ kaum buruh tidak terwakili sama sekali. Di Petersburg dengan jumlah penduduk sebesar 1.4 juta, hanya 13.000 warga berhak mencoblos. "Konsesi" ini hanya membuat rakyat semakin marah, dan pada bulan Oktober terjadi gelombang aksi mogok lagi. Pemogokan tersebut melumpuhkan perusahaan kereta api dan kantor-kantor pos, sekolah-sekolah tutup, penyediaan gas dan air berhenti dan sistem komunikasi ambruk.

Perjuangan kaum buruh menjadi inspirasi bagi rakyat tertindas lainnya. Kaum tani mulai membakar rumah-rumah tuan tanah serta merebut tanah dan pangan. Prajurit-prajurit kecil memberontak. Kaum buruh perempuan yang telah terlibat dalam (dan tak jarang memimpin) aksi-aksi mogok, kemudian memberanikan diri untuk melawan penindasan seperti pelecehan seksual, serta menuntut hak cuti untuk mengasuh anak mereka.

Saat itu kaum buruh di ibukota mendirikan sebuah organ politik yang sangat efektif untuk mengorganisir perjuangan ekonomi dan politik. Organ ini bernama "soviet" (dewan buruh). Soviet itu berasal dari komite-komite aksi mogok di tempat-tempat kerja. Dewan ini sangat demokratik dan mewakili seluruh kelas buruh. Seperti dalam Komune Paris, para utusan dapat di recall sewaktu-waktu, dan gaji mereka tidak melebihi upah seorang pekerja terampil. Tetapi beda dengan Komune Paris tersebut, dewan ini berdasarkan atas para utusan dari tempat kerja, sehingga bersifat 100 persen proletarian. Dewan semacam itu muncul di seluruh Rusia dan mulai menantang kaum penguasa. Kaum buruh menganggap soviet-soviet itu sebagai pemerintah mereka.

Dan dewan-dewan itu memang merupakan semacam pemerintahan tandingan. Soviet-soviet tersebut dibentuk guna melayani kebutuhan-kebutuhan kaum buruh dalam perjuangan sehari-hari -- seperti mengkoordinasi aksi mogok, meyebarkan informasi, serta mencari pangan, obat-obatan dan transportasi waktu industri dihentikan oleh pemogokan. Namun mereka lekas menjadi sebuah organ revolusioner.

Konsesi-konsesi tambahan dari Tsar gagal menenangkan kaum buruh, dan pada bulan November terjadi gelombang pemogokan yang ketiga. Dalam aksi bulan November, hari kerja 8 jam menjadi tuntutan utama. Sampai saat itu, kaum majikan bersikap kurang-lebih netral dalam pergolakan tersebut, karena mereka sendiri menginginkan reformasi politik tertentu, dan tidak keberatan kalau reformasi itu diperjuangkan oleh kaum buruh. Tetapi tuntutan tentang hari kerja 8 jam tidak mereka sukai. Mereka mulai menentang gerakan buruh secara agresif. Di saat yang sama, kepolisian dan pemerintahan lokal mengizinkan sekelompok preman rasis bernama "Ratusan Hitam" untuk menyerang para buruh.

Soviet di St Petersburg dibubarkan pada tanggal 3 Desember. Soviet di Moskow memberontak tetapi pemberontakan itu dihancurkan setelah perlawanan yang heroik selama 9 hari.

Selama tahun 1905, aksi buruh sering lebih maju daripada yang diharapkan oleh golongan revolusioner. Fenomena soviet tidak diramalkan oleh teori-teori kaum kiri. Soviet-soviet dibangun secara kurang-lebih spontan oleh kelas buruh, walau terpengaruh oleh pengalaman Komune Paris. Mula-mula Partai Bolsyevik malah tidak begitu antusias dengan dewan-dewan itu, yang dikira bertentangan dengan peran pemimpin partai. Di saat yang sama, golongan Bolsyevik masih berpegang pada cara-cara organisasi sempit dan konspiratif yang diajukan oleh Lenin dalam tulisannya Apa Yang Harus Dikerjakan? Tulisan itu terbit pada tahun 1903, saat kaum Bolsyevik harus bergerak di bawah tanah. Oleh karena itu, Lenin menganjurkan struktur-struktur ketat untuk sekelompok revolusioner professional, yang dikira akan membawa kesadaran revolusioner kepada kelas buruh "dari luar". Banyak kader Bolsyevik cenderung meremehkan perjuangan normatif yang mereka anggap "apolitis".

(Rosa Luxemburglah yang paling memahami bagaimana pemogokan massa yang normatif bisa berinteraksi dengan perjuangan politik dalam perkembangan revolusioner.)

Peristiwa-peristiwa tahun 1905 memaksa kaum Bolsyevik berubah sikap. Lenin (yang waktu itu di luar negeri) hampir segera melihat potensi dewan-dewan buruh, tetapi baru melalui perdebatan yang alot dia berhasil meyakinkan para aktivis partai. Kemudian partai Bolsyevik ikut terlibat dalam soviet-soviet dengan antusias. Sedang Lenin juga menghimbau agar kaum Bolsyevik "membuka pintu partai seluas-luasanya" dan menyambut ribuan buruh teradikalisasi yang mau masuk. Para buruh muda ini sangat penting untuk mengimbangi para kader lama yang terbukti terlalu konservatif dalam pergolakan tahun 1905.

Revolusi tahun 1905 membuktikan bahwa kelas kapitalis tidak ingin dan tidak mampu memimpin sebuah revolusi borjuis-demokratik. Mereka memang bekepentingan untuk menghilangkan sisa-sisa feodal dari ekonomi dan sistem politik, tetapi takut pada kekuatan revolusioner kelas buruh. Hal ini menjadi titik tolak untuk teori Revolusi Permanen, yang dirumuskan oleh Leon Trotsky berdasaran pengalaman pergolakan tahun 1905 itu. Menurut Trotsky, dominasi mode produksi kapitalis di tingkat global berarti bahwa perjuangan sosialis bisa mulai di Rusia. Kaum buruh tidak hanya harus memimpin perjuangan demokratik, tetapi dalam perjuangan itu mereka mesti berjalan lebih jauh dan mengembangkan revolusi ke arah sosialisme.

Kaum revolusioner harus banyak belajar dari perjuangan spontan kaum buruh. Meski begitu, sebuah partai revolusioner masih diperlukan. Partai Bolsyevik melakukan konsolidasi setelah kalahnya revolusi tahun 1905, sehingga pelajaran-pelajaran itu tidak terlupakan. Tanpa Partai Bolsyevik, revolusi Oktober 1917 tidak mungkin berhasil.

Revolusi Februari 1917

Oleh Lian Jenvey

Periode antara tahun 1907 dengan 1911 sangat sulit bagi kaum kiri. Lenin melukiskan zaman reaksioner itu:

Para pendukung Tsar berjaya. Semua partai revolusioner bahkan semua partai oposisi dihancurkan. Perasaan depresi dan demoralisasi, perpecahan, pertikaian, pembelotan dan pornografi mengganti kegiatan politik … Namun di saat yang sama, pada zaman ini partai-partai revolusioner dan kelas revolusioner mendapatkan pelajaran yang amat bermanfa’at … pelajaran dalam memahami perjuangan politik, dan pelajaran dalam ilmu menjalankan perjuangan tersebut … tentara-tentara yang kalah memang banyak belajar.

Mulai dari tahun 1912, perlawanan oleh kaum buruh sudah meningkat lagi. Para buruh tambang di daerah pertambangan emas mogok kerja dan mentuntut hari kerja 8 jam. Namun di saat yang sama, negara-negara Eropa semakin terjerumus ke dalam konflik. Manuver-manuver mereka mempersiapkan medan untuk pecahnya Perang Dunia I pada tahun 1914. Setelah kaum kiri menaruh harapan pada bangkitnya kelas buruh, mereka harus menghadapi sebuah perkembangan yang amat pahit. Terjadi perpecahan antara pihak sosialis moderat yang mendukung perang imperialis tersebut, dan pihak revolusioner yang menolak perang itu.

Lenin mengajukan slogan, "Merubah perang imperialis menjadi perang sipil" (artinya, perang antara kelas pekerja dan kelas kapitalis). Kaum buruh harus berhenti saling membunuh dan harus menentang para kapitalis yang berdosa atas perang tersebut.

Pada hari-hari awal, perang imperialis mendapatkan dukungan yang sangat luas dari masyarakat. Namun dukungan itu semakin merosot karena massa rakyat di masing-masing negeri harus berkorban terus. Jutaan laki-laki berjatuhan di garis depan. Sedangkan kaum perempuan harus mengurus rumah tangga sekaligus bekerja berjam-jam di pabrik dengan upah yang melarat. Sehingga tidak mengherankan Revolusi tahun 1917 pecah pada Hari Perempuan. Seorang pekerja di pabrik mesin Nobel menggambarkan kejadian pada hari itu:

Kami mendengar suara-suara wanita di lorong di belakang jendela-jendela bagian kami: ‘Turunkan harga! Hentikan kelaparan! Pangan untuk kaum buruh!' Aku bersama beberapa kawan lain bergegas ke jendela itu. Pintu-pintu pabrik Bolsyaya Sampsonievskaya dibuka lebar. Massa buruh perempuan yang kelihatan militan memenuhi lorong. Wanita yang melihat kami mulai melambaikan tangan sambil berteriak: ‘Keluar pabrik! Mogok kerja!’ Gumpalan-gumpalan salju terbang-melayang melalui jendela. Kami memutuskan untuk ikut berdemonstrasi.

Dalam Revolusi Februari kita menyaksikan dinamiki perjuangan kaum tertindas. Kaum buruh perempuan dari sektor-sektor yang pengorganisirannya terlemah, menjadi katalisator bagi seluruh revolusi. Kemudian mereka segera menghimbau agar kaum buruh di sektor lain ikut berjuang. Sektor yang paling militan adalah para pekerja pabrik mesiu di daerah Vyborg. Di sektor ini Partai Bolsyevik cukup kuat, tetapi para pemimpin partai setempat tidak setuju dengan aksi mogok, yang mereka anggap prematur. Namun begitu kaum buruh perempuan turun ke jalan, para pekerja di Vyborg segera melakukan solidaritas dan mogok kerja. Aksi mereka pada gilirannya menyuluh aksi-aksi mogok di seluruh ibukota.

Tsar menyuruh tentara menghancurkan demonstrasi dan pemogokan. Namun tampilnya tentara hanya menimbulkan sebuah gerakan protes yang mengarah ke insureksi.

Pada tahun 1905 tentara tetap loyal terhadap Tsar. Namun di tahun 1917 para prajurit sangat resah. Mereka telah mengalami tiga tahun perang yang mengerikan, dan tidak lagi antusias untuk membela rezim. Para prajurit kebanyakan adalah rakyat kecil yang semakin bersimpati dengan buruh, dan merasa memiliki kepentingan bersama dengan kaum buruh. Pada tanggal 27 Februari sejumlah resimen membelot ke kubu revolusioner. Pada hari itu juga, para politisi di Duma yang sampai saat itu hanya merupakan parlemen boneka, menolak instruksi-instruksi Tsar dan menyatakan diri sebagai Pemerintahan Transisi.

Empat hari kelak, pada tanggal 3 Maret, Tsar Nicholas II akhirnya turun tahkta. Rezim Tsar berhasil ditumbangkan dalam kuran waktu sependek 12 hari.

Mirip dengan peristiwa tahun 1905, dalam revolusi Februari aksi-aksi mogok menimbulkan komite-komite buruh, yang lantas mendirikan sebuah dewan pengurus pusat yang mengambil nama "soviet". Kemudian muncul soviet di tempat-tempat lain pula.

Revolusi Februari sering dicap sebagai revolusi "spontan" karena tidak ada kepemimpinan yang jelas. Namun kita tidak boleh melupakan peranan yang dimainkan oleh ribuan buruh yang teradikalisasi dalam revolusi tahun 1905 dan yang tetap menjadi anggota atau simpatisan Partai Bolsyevik. Para aktivis ini, yang dilukiskan oleh Trotsky sebagai "buruh yang sadar dan kawakan yang kebanyakan terdidik oleh Partai Lenin", menjadi pimpinan di lapangan.

Partai Bolsyevik itu masih kecil dan terfragmentasi pada bulan Februari, tetapi kemudian bisa berperan besar dalam revolusi Oktober karena beruntung dari pengalaman revolusi tahun 1905 dan pergolakan bulan Februari. Lenin pernah mengatakan, partai revolusioner harus mempunyai "daya ingatan bagi kelas buruh" (the memory of the class). Partai Bolsyevik bisa bertahan dan akhirnya menang karena belajar dari pengalaman-pengalaman revolusioner, terutama peristiwa-peristiwa tahun 1905. Selama tahun-tahun sulit antara 1906 dan 1917, mereka tidak lupa bahwa massa rakyat telah terbukti mampu untuk mengoyahkan rezim Tsar. Jadi mereka memiliki semangat untuk terus berjuang dan mempertahankan organisasi mereka.

Trotsky baru mengerti peranan partai Bolsyevik pada tahun 1917. Dalam bukunya tentang sejarah revolusi dia menulis:

Di antara massa buruh harus ada aktivis buruh yang telah memikirkan pengalaman tahun 1905, mengkritik ilusi-ilusi konstitusional para liberal dan Mensyevik, mempelajari perspektif-perspektif revolusi, ratusan kali mengkaji kembali masalah peranan tentara dan secara saksama mengamati dinamika intern dalam militer, -- aktivis buruh yang mampu menarik kesimpulan dari apa yang mereka saksikan, lantas mensosialisikan kesimpulan itu kepada orang lain.

Dengan semakin gencarnya gerakan buruh, soviet mulai mengambil alih kendali dan mengurusi fungsi-fungsi dasar di ibukota serta mengorganisir kembali proses produksi. Kaum buruh semakin melihat soviet itu sebagai pemerintahan mereka. Soviet menjadi sebuah administrasi tandingan yang menantang Pemerintahan Transisi. Maka muncullah sebuah situasi yang disebut oleh Trotsky dengan nama "dual power" -- (kekuasaan dobel atau kekuasaan ganda). Kata Trotsky, keadaan "dual power" tersebut muncul begitu "kelas-kelas yang bermusuhan [kaum buruh dan kaum majikan] masing-masing mengandalkan sistem-sistem pemerintahan yang bertentangan -- yang satunya kadaluwarsa, yang lain masih dalam proses pembentukan -- yang berdesak-desakan pada setiap langkah di bidang pemerintahan."

Tumbangnya Tsar berarti dicopotnya sebuah lapisan majikan dan manajer; banyak yang lari keluar negeri. Mulai dari bulan Maret, kaum buruh semakin mendemokratisasi pengelolaan pabrik. Mereka berhasil membatasi jam kerja menjadi maksimal 8 jam dan memenangkan kenaikan gaji sebesar 30-50 persen. Namun walau kemengan ini menunjukkan kekuatan gerakan buruh, massa buruh belum juga mengantisipasi sebuah revolusi dimana mereka akan merebut kekuasaan dari tangan kaum borjuis.

Para buruh telah mengambil kendali atas pengelolaan banyak tempat kerja, namun upaya-upaya mereka diarahkan untuk mempertahankan demokrasi saja, dan belum dimengerti sebagai langkah sosialis.

Partai Bolsyevik sendiri agak terperangah oleh revolusi Februari. Namun dua bulan kemudian mereka sudah mewakili sebuah minoritas yang penting dalam kelas buruh. Mayoritas dalam soviet memang masih dipegang oleh kaum Revolusioner-Sosial (partai petani) dan kaum Mensyevik (sosialis moderat) yang mendukung Pemerintahan Transisi dengan syarat tertentu. Sikap kaum mayoritas itu berdasarkan teori umum bahwa sebelum revolusi sosialis, Rusia dikira harus melalui sebuah revolusi demokratik yang akan memapankan demokrasi parlementer borjuis.

Namun massa buruh semenjak awal merasa curiga terhadap Pemerintahan Transisi. Kaum pekerja menjadi lebih curiga lagi pada bulan April, ketika pemerintahan tersebut menyatakan rencana untuk melanjutkan perang. Mengingat bahwa peristiwa Februari disebabkan oleh kemarahan tentang perang tersebut, kecurigaan para pekerja tidak sulit dipahami.

Pada bulan April itu Lenin kembali ke Rusia. Dia lekas menggembleng Partai Bolsyevik untuk melancarkan perjuangan ke arah sosialisme, dengan orientasi bahwa sebuah revolusi sosialis di Rusia bisa menyulut revolusi di negeri-negeri barat. Orientasi baru yang diajukan oleh Lenin itu berarti, kaum Bolsyevik harus mengutuk Pemerintahan Transisi sebagai pemerintah kapitalis. Mereka harus menuntut agar perang dihentikan, serta mengangkat sebuah slogan yang terkenal: "Pangan, perdamaian, tanah [untuk para penggarap]."

Setelah bulan April, dukungan terhadap Partai Bolsyevik semakin bertumbuh. Satu faktor yang penting disini adalah kehancuran ekonomi yang disebabkan oleh perang. Makin lama makin banyak perusahaan yang gulung tikar; sehingga makin banyak pekerja yang tunakarya. Gagalnya ekonomi kapitalis membuat slogan-slogan Bolsyevik yang anti-kapitalis semakin disambut oleh para pekerja. Perlawanan oleh kaum buruh menjadi lebih gencar.

Pemerintahan Transisi menyerang kaum pekerja, dengan harapan, serangan itu akan mengambil hati kaum kapitalis. Mereka memprovokasi demonstrasi-demonstrasi yang melibatkan ratusan ribu pekerja, kemudian mereka menuduh Partai Bolsyevik sebagai pemicu insureksi. Koran partai dilarang, pemimpin utama ditangkap. Untuk sementara, represi ini membiakkan suasana yang lebih konservatif dalam tubuh gerakan buruh. Namun para aktivis yang lebih sadar menarik kesimpulan, tidaklah cukup mengganti beberapa menteri. Kekuasaan harus diambil alih oleh soviet. Untuk itu, para pemimpin moderat di dalam soviet harus diganti juga. Artinya, kaum Bolsyevik harus menjadi kepemimpinan soviet.

Waktu itu soviet sudah mulai berkembang sebagai embrio masyarakat baru, di mana kaum pekerja akan menguasai proses produksi dan mengambil keputusan berdasarkan kepentingan rakyat sendiri. Kaun buruh sudah sadar bahwa dalam masyarakat luas kepentingan ini akan diperjuangkan oleh soviet. Peristiwa bulan Februari dan Juli telah meradikalisasi mereka, sehingga mereka semakin menyambut argumentasi Bolsyevik bahwa kelas buruh dan rakyat tertindas harus mengambil alih kekuasaan dan menghancurkan kaum penguasa.

Revolusi Oktober 1917

Oleh Tess Lee Ack

Revolusi Oktober merupakan kemenangen terbesar yang diraih oleh kelas pekerja sampai sekarang. Meski peristiwa-peristiwa tahun 1917 sudah lama menjadi sejarah, namun kita dapat banyak belajar dari revolusi tersebut.

Slogan Bolsevik: "Tanah, pangan, perdamaian" mencerminkan aspirasi rakyat pekerja Rusia dan argumentasi kaum Bolseyvik semakin mengambil hati rakyat. Namun Pemerintahan Transisi tidak setuju dengan tuntutan tersebut dan tidak ingin berjuang melawan kaum tuan tanah dan pemilik modal; pemerintahan itu malah melihat gerakan buruh sebagai musuh utuma. Karena terprovokasi oleh serangan kaum majikan dan oleh ofensif militer baru di garis depan, kaum buruh dan prajurit menyelenggarakan sederetan demonstrasi pada bulan Juli. Tidak sedikit di antara mereka yang sudah ingin menumbangkan Pemerintahan Transisi.

Partai Bolsyevik berpendapat, walau massa rakyat sudah siap untuk revolusi di ibukota, namun di kota-kota lain belum demikian, sehingga sebuah insureksi yang bisa berhasil di ibukota kemudian akan terisolasi dan dihancurkan. Tetapi sebagai partai revolusioner mereka tidak boleh menjauhkan diri dari perjuangan massa rakyat. Jadi mereka ikut serta dalam demonstrasi-demonstrasi sekaligus mengusulkan kesabaran. Karena sikap itu kelompok Bolsyevik kehilangan dukungan di berbagai sektor militan. Namun mereka berhasil menjaga kedisiplinan gerakan secara kesuluruhan dan menghindari terjadinya sebuah insureksi yang berkecepatan.

Pada minggu-minggu berikutnya, Pemerintahan Transisi menjalankan represi yang tajam. Para pimpinan Bolysevik ditangkap dan difitnah sebagai mata-mata Jerman. Pers Bolsyevik dilarang, dan para aktivis harus bergerak di bawah tanah. Lenin sendiri harus bersembunyi.

Untuk sementara waktu, gerakan buruh terdemoralisasi dan mengalami kemunduran. Di tempat-tempat kerja, para majikan berusaha merebut kembali kontrol atas proses produksi. Namun kelas buruh masih memiliki soviet-soviet mereka, sehingga serangan kaum majikan akhirnya gagal. Sedangkan kaum tani, yang tidak sabar lagi menunggu pembagian tanah oleh Pemerintahan Transisi, akhirnya mulai mengambil alih tanah secara sepihak.

Ofensif di garis depan gagal, lantas tentara mulai bubar, karena para prajurit melarikan diri dan pulang ke desa. Melihat ini, sebagian dari kaum penguasa dan Jendral Kornilov memutuskan untuk melakukan kudeta guna mencopot kepala Pemerintahan Transisi, Kerensky. Namun cukup jelas bahwa sasaran mereka bukan hanya Kerensky, tetapi juga gerakan revolusioner dan soviet-soviet. Oleh karena itu, Partai Bolsyevik membentuk sebuah front persatuan dengan kekuatan-kekuatan yang masih loyal kapada Pemerintahan Transisi. Tetapi sementara mereka mengarahkan mobilisasi buruh dan tentara untuk mengalahkan Kornilov, mereka juga melakukan sebuah "perang" politik melawan Kerensky.

Mereka menuntut agar kaum buruh dipersenjatai guna melawan kontra-revolusi, dan untuk memperjuangan tanah, pangan serta perdamaian. Hanya dengan cara itu semangat massa rakyat dapat dikobarkan untuk mengalahkan musuh.

Dalam kurun waktu beberapa hari, kudeta Kornilov ambruk. Kemenganan di arena perang ini disertai dengan sebuah kemenangan politik, karena kaum Bolsyevik semakin mendapat dukungan kelas buruh, dan kelas buruh itu semakin sadar akan perlunya revolusi sosialis.

Mulai saat itu situasi politik ditransformasikan. Suasana dalam tubuh kelas buruh semakin radikal dan hal itu dicerminkan dalam komposisi soviet-soviet. Para utusan di soviet itu dapat diganti sewaktu-waktu, sehingga menjelang akhir Augustus Partai Bolsyevik meraih mayoritas dalam soviet Petrograd, dan beberapa waktu kemudian juga menguasai soviet di Moskow. Trotsky menjadi presiden soviet di ibukota seperti pada tahun 1905. Waktu itu Partai Bolsyevik sudah menjadi organisasi utama dalam kelas buruh, dan mendapatkan dukungan yang kuat dari para prajurit dan petani. Jumlah anggota mereka telah naik dari beberapa ribuan pada bulan Maret menjadi seperempat juta. Sehingga secara obyektif sebuah revolusi sudah mungkin. Namun kesadaran massa tidak merata. Di sektor-sektor buruh yang paling maju, angka aksi mogok mulai menurun, sedangkan beberapa sektor lain baru mulai melakukan aksi mogok seperti itu.

Fenomena ini amat berarti. Kaum buruh yang paling maju sudah menarik kesimpulan, pemogokan biasa tidak lagi mencukupi. Bahwa tuntutan-tuntutan buruh -- baik yang ekonomi maupun yang politik -- tidak bisa terpenuhi dalam tatanan sosial yang ada. Sementara kaum buruh yang kesadarannya masih kurang, juga sudah terjepit dalam konflik dengan para majikan; kemudian mereka akan menarik kesimpulan yang sama pula. Seperti tulis Trotsky:

Suasana revolusioner dalam massa rakyat menjadi lebih kritis, lebih mendalam, lebih resah. Massa -- terutama mereka yang pernah melakukan kesalahan dan mengalami kekalahan -- mencari kepemimpinan yang bisa diandalkan. Mereka mau merasa yakin bahwa kita mampu dan berkeinginan untuk memimpin, dan bahwa dalam pertempuran yang menentukan mereka dapat mengharapkan kemenangan … Kaum proletarian mengatakan: tidak ada lagi yang dapat diharapkan dari pemogokan, demonstrasi dan aksi protes saja. Sekarang kita mesti bertempur."\

Setelah kudeta Kornilov gagal, Lenin makin mendesak agar kaum Bolsyevik melakukan taktik yang lebih agresif. Pada hemat Lenin, dalam keadaan yang semakin tidak stabil, kelas buruh harus maju mengambil alih kekuasaan, atau mereka akan dihancurkan oleh kelas penguasa. Pembantaian kaum buruh ketika Komune Paris kalah, dan represi yang tajam setelah gagalnya revolusi tahun 1905, menjadi peringatan bagi dia. Di masa krisis politik, sosial dan ekonomi yang tajam, peralihan secara damai ke demokrasi borjuis tidak mungkin terjadi. Seperti yang Trotsky tulis kelak: andaikata kaum buruh tidak mengambil alih kekuasaan pada tahun 1917, perkataan "fasisme" akan berasal dari Bahasa Rusia bukan Bahasa Italia.

Dalam sebuah pamflet berjudul "Marxisme dan Insureksi" yang beredar secara luas, Lenin memaparkan prasyarat-prasyarat untuk pemberontakan revolusioner. Mereka harus "mengambil hati mayoritas rakyat", dan hal ini harus "terbukti dengan fakta-fatka obyektif" seperti tercapainya sebuah mayoritas dalam soviet-soviet, popularitas besar untuk program perjuangan Bolsyevik, dukungan dalam tentara dan di antara kaum tani, dan hilangnya kredibilitas pemerintahan yang ada untuk menyelesaikan perang dan memulihkan ekonomi.

Pada hemat Lenin, semua prasyarat ini sudah terpenuhi. Tetapi bagaimana caranya untuk menyelenggarakan pemberontakan tersebut?

Para soviet telah mendirikan sebuah Komite Militer Revolusioner guna membela revolusi melawan Kornilov. Trotsky meyakinkan Lenin bahwa Komite inilah (dan bukan organ-organ Partai Bolsyevik) yang harus menjadi wahana insureksi, karena para soviet mewakili seluruh kelas pekerja.

Saat itu Lenin dan Trotsky masih juga harus menghadapi perlawanan di dalam Partai Bolsyevik sendiri. Mereka didukung secara solid oleh basis partai (termasuk banyak buruh yang baru terradikalisasi). Namun sebagian dari kader lama agak kewalahan oleh perkembangan tahun 1917 yang begitu cepat, serta terintimidasi oleh represi yang mereka alami pada bulan Juli.

Lebih parah lagi, pada saat Lenin, Trotsky dan Komite Militer Revolusioner sedang merencanakan insureksi, dua tokoh Bolsyevik terkemuka, Zinoviev dan Kamenev, melakukan perlawanan. Beberapa hari sebelum insureksi terjadi, mereka memberikan informasi tentang insureksi itu kepada sebuah koran non-Bolsyevik. Lenin naik darah dan menuntut agar mereka dipecat, tetapi mayoritas Komite Sentral tidak setuju. Fakta-fakta ini agak bertentangan dengan prasangka sayap kanan bahwa Partai Bolsyevik itu otoriter dan Lenin seorang diktator.

Di bawah kepemimpinan Trotsky, soviet Petrograd menyatakan, perintah-perintah para komandan militer tidak boleh dilaksanakan sebelum perintah itu disetujui oleh Komite Militer Revolusioner. Pemerintah meresponnya dengan melarang pers Bolsyevik, menangkap Trotsky serta melakukan rencana untuk menangkap seluruh kepemimpinan Bolsyevik.

Sudah saatnya untuk pihak revolusioner bertindak. Pada malam tanggal 24 Oktober, rombongan-rombongan buruh mengambil alih stasiun-stasiun kereta api, kantor-kantor pos, sentral-sentral telpon, gudang-gudang amunisi, bank-bank dan perusahaan-perusahaan percetakan. Hampir tidak ada perlawanan, sehingga esok siang pada jam 10:00 kaum Bolsyevik bisa mengumumkan bahwa Pemerintahan Transisi telah tumbang. Istana Musim Dingin memang harus diserbu oleh pasukan Bolsyevik, tetapi pengambil-alihan Istana juga terjadi tanpa pertumpahan darah. Pemerintahan Transisi tersebut begitu kehilangan kepercayaan rakyat sehingga tidak ada kekuatan yang penting dalam masyarakat yang berani membelanya. Di Moskow terjadi pertempuran tertentu. Namun dalam waktu dekat, revolusi sudah menang.

Pada tanggal 26 Oktober, kongres soviet mendirikan pemerintahan baru yang dikuasai oleh Partai Bolsyevik, dengan partisipasi kaum Sosialis-Revolusioner dan berbagai tokoh Mensyevik. Pemerintahan baru ini menyatakan bahwa semua tanah akan menjadi milik kaum tani (pernyataan ini memang hanya mengabsahkan sebuah proses yang sudah berjalan di lapangan) dan menuntut agar perang diselesaikan tanpa pencaplokan oleh pihak yang mana pun.

Pemberontakan Bolsyevik pada bulan Oktober 1917 sering dilukiskan sebagai semacam kudeta. Dalam praktek, semua insureksi tentu saja akan dijalankan oleh sebuah minoritas. Tingal bertanya, apakah insureksi tersebut disokong oleh mayoritas, dan siapa yang memegang kekuasaan dalam tatanan sosial baru.

Kudeta yang dilakukan oleh Pinochet di Chile pada tahun 1973, misalnya, jelas tidak didukung oleh massa rakyat. Ribuan buruh dibunuh atau dipenjara. Hal itu berbanding terbalik dengan revolusi Bolsyevik, yang disokong oleh mayoritas. Ini dikonfirmasi oleh para lawan pula. Sukhanov, seorang pakar sejarah Mensyevik, menulis: "Menggelikanlah bicara tentang sebuah konspirasi militer … padahal, partai [Bolsyevik] diikuti oleh mayoritas besar rakyat …" Sedangkan Martov, seorang pimpinan Mensyevik, mengatakan: "Harap mengerti, yang terjadi di depan mata kita adalah sebuah kebangkitan kaum proletariat -- hampir seluruh proletariat mendukung Lenin serta berharap mencapai emansipasi mereka lewat kebangkitan ini." Sejarawan Robert Service, yang bukan pendukung kaum Bolsyevik, menulis: "Pokoknya … program politik Bosyevik semakin mengambil hati massa buruh, prajurit dan petani … tanpa hal ini, revolusi Oktober tidak mungkin terjadi."

Namun wartawan Amerika John Reed mungkin melukiskan kenyataan itu dengan paling mengharukan. Dia mengingat suasana di Petrograd sesudah terjadinya insureksi. "Seorang pekerja tua yang mengendarai mobil kami memegang stir dalam satu tangan, sambil tangan lainnya terayun menunjuk ke ibukota bersinar. ‘Milikku!’, teriaknya dengan wajah bercahaya. "Sekarang punyaku semua! Petrogradku!’"

Bangkitnya Rezim Stalinis di Rusia


(Tulisan Julian bedasarkan "Russia: How the Revolution was Lost" karya Chris Harman.)

Revolusi Oktober menjadi inspirasi untuk jaum buruh seluruh dunia, dan jutaan manusia menaruh harapan pada rezim Soviet. Namun Uni Sovyet amat mengecewakan para pendukungnya karena munculnya fenomena stalinisme. Stalin mejebloskan lawan-lawannya di kamp-kamp konsentrasi, bahkan membunuh mereka. Dia beraliansi dengan Hitler selama beberapa waktu. Pada zaman paska Perang Dunia II, Uni Soviet menindas bangsa-bangsa Eropa Timur. Akhirnya rezim itu ambruk sama sekali.

Fakta-fakta ini sangat mendemoralisasi rakyat pekerja di mana-mana. Jika kita ingin memperbarui teori Marxis, kita harus menjelaskan mengapa hal-hal semacam itu dapat terjadi, dan siapa yang bertanggung-jawab.

Dua segi Revolusi 1917

Perkembangan revolusi Rusia menggabungkan dua proses historis yang berbeda. Proses yang pertama terjadi di perkotaan, di mana kesadaran revolusioner kaum buruh berkembang secara pesat, sampai massa buruh mengerti dengan baik masing-masing posisi dan kepetingan kelas-kelas sosial dalam masyarakat. Konflik kelas di perkotaan terjadi antara para pemilik modal dengan kaum buruh yang tidak punya harapan untuk mendapatkan harta pribadi. Proses yang kedua berlangsung di pedesaan, di mana konflik terjadi antara dua kelas pemilik: di satu pihak para tuan tanah, di pihak lain para petani. Kaum tani tidak memiliki kesadaran atau aspirasi sosialis, sebaliknya mereka ingin pembagian tanah. Dalam upaya itu kaum petani kaya (para "kulak") bisa saja ikut partisipasi.

Revolusi Oktober hanya dapat terjadi berdasarkan kedua proses tersebut. Namun kedua proses itu hanya bisa bergabung karena disebabkan faktor-faktor khusus. Di Rusia, kelas borjuis tidak mampu untuk putus dengan tuan-tuan tanah. Sehingga kaum tani terpaksa bersekutu dengan kelas buruh. Revolusi 1917 mengkombinasikan "perang para petani" dengan insureksi kaum proletarian.

Insureksi di kota-kota tidak mungkin berhasil tanpa dukungan dari para prajurit kecil, yang kebanyakan berasal dari desa. Di saat yang sama, kaum tani tidak mungkin mengalahkan para tuan tanah jika tidak dipimpin oleh kekuatan urban. Di Rusia saat itu, satu-satunya kekuatan urban yang bersedia memimpin kaum tani adalah kelas buruh.

Kelas borjuis dan kaum tuan tanah ditumbangkan, namun kelas-kelas yang menumbangkan mereka tidak mempunyai tujuan bersama dalam jangka panjang. Kelas buruh hidup dari kegiatan kolektif di tempat kerja, sedangkan kaum tani hanya bisa bersatu secara sementara untuk merebut tanah, kemudian mereka akan menjalankan produksi individual kalau tidak didominasi oleh kekuatan luar.

Akibatnya, revolusi merupakan kekuasaan kaum buruh di atas kelas-kelas lain di perkotaan, sekaligus merupakan kekuasaan kota atas pedesaan. Dalam tahap-tahap pertama, pemerintahan Bolsyevik bisa mengandalkan dukungan kaum tani dan memang dibela oleh bayonet-bayonet para prajurit berlatarbelakang rural. Namun apa jadinya kelak? - Pertanyaan ini sudah lama direnungkan oleh kaum Marxis di Rusia. Sebuah revolusi sosialis di Rusia bisa saja tengelam dalam lautan petani, dan hal itu menjelaskan kenapa sebelum tahun 1917 kaum Marxis (kecuali Trotsky) melihat revolusi Rusai sebagai revolusi demokratik saja. Ketika Trotsky mengajukan skenario revolusi sosialis, Lenin menulis:

"Ini mungkin, karena kekuasaan sosialis hanya bisa stabil berlandaskan dukungan mayoritas besar. Sedangkan proletariat Rusia merupakan minoritas rakyat Rusia saat ini."

Lenin mempertahankan pendapat ini sampai awal tahun 1917. Pada tahun itu dia berubah sikap, tapi hanya karena dia melihat revolusi di Rusia sebagai tahap pertama revolusi global, di mana kelas pekerja di barat bisa menolong kaum pekerja untuk mengambil hati para petani Rusia. Delapan bulan sebelum insureksi Oktober dia menulis: "proletariat Rusia tidak bisa menuntaskan revolusi sosialis dengan kekuataan sendiri saja". Empat bulan setelah insureksi tersebut, dia menggarisbawahi "kebenaran yang mutlak bahwa tanpa terjadinya sebuah revolusi di Jerman, kita akan dihabis."

Perang sipil dan kediktatoran Bolsyevik

Rezim Bolsyevik harus menghadapi perlawanan intern yang disokong oleh intervensi luar. Mereka bisa bertahan dan pihak kontra-revolusioner berhasil dikalahkan, tetapi harga kemenangan itu amat besar. Produksi agrikultural dan industrial menurun secara drastis: misalnya tingkat produksi besi kasar menurun sampai 3% persen dibandingkan dengan angka produksi sebelum perang dunia. Ambruknya perekonomian pada gilirannya berdampak besar pada kelas pekerja, yang jumlahnya anjlok menjadi 43% dari angka sebelumnya karena banyak sekali buruh kembali ke desa atau gugur dalam perang sipil. Secara kualitatif, keadaanya lebih parah lagi. Kaum pekerja yang paling militan dan sadar sering gugur di garis depan; atau mereka menjadi penjabat negara. Yang sedang bekerja di pabrik banyak yang baru datang dari udik, sehingga tidak memiliki tradisi sosialis maupun kesadaran revolusioner.

Artinya, kelas sosial yang telah menjalankan revolusi hampir menghilang. Seperti ditulis Lenin pada tahun 1921: "Proletariat industrial … di negeri kita, telah kehilangan wataknya sebagai kelas buruh karena perang dan kemiskinan yang mengerikan; artinya, telah disimpangkan dari jalurnya dan berhenti menjadi proletariat sama sekali." Dalam situasi semacam itu, bagaimana revolusi Rusia bisa bertahan? Masalah ini tidak pernah dipikirkan oleh para pemimpin Bolsyevik. Asumsi mereka, jika revolusi tetap terisolasi di Rusia, rezim mereka akan ditumbangkan oleh pihak borjuis dan imperialis. Yang dihadapi mereka dalam kenyataan adalah, bahwa pihak kontra-revolusi berhasil menghancurkan kaum pekerja sebagai kelas sosial tetapi di saat yang sama, aparatus negara yang dihasilkan revolusi itu masih bertahan. Kekuasaan Bolsyevik masih kuat, tetapi komposisi kekuasaan itu berubah secara fundamental.

Lembaga-lembaga revolusioner yang muncul pada tahun 1917 berkaitan secara organik dengan kelas pekerja. Antara aspirasi kaum buruh dan wakil-wakil mereka tidak ada jurang pemisah sama sekali. Sampai bulan Juni 1918 pemerintahan Bolsyevik sangat demokratik; misalnya partai Mensyevik masih aktif dan legal walau revolusi harus menhadapi serangan dari semua penjuru. Tetapi menyurutnya kelas pekerja merongrongi demokrasi ini secara esensial. Mau tidak mau, lembaga-lembaga pemerintahan semakin melepaskan diri dari pegangan rakyat. Untuk menyelamatkan diri, kaum Bolsyevik semakin mensentralisasi pemerintahan mereka; partai-partai lain, yang bersikap mendua antara revolusi dan kontra-revolusi, tidak dilarang tetapi kegiatan mereka dibatasi. Dalam praktek, demokrasi multipartai dihapuskan pada tahun 1920.

Pembertontakan di Kronstadt dan Kebijakan Ekonomi Baru

Penyelesaian perang sipil sayangnya tidak menyelesaikan situasi sosial yang rumit ini. Situasi tersebut malah diperparah, karena dengan hilangnya ancaman dari pihak kontra-revolusi, kaum pekerja sosialis di perkotaan dan kaum tani di pedesaan tidak lagi memiliki kepentingan bersama. Begitu kepemilikan mereka atas tanah terjamin, kaum tani tidak lagi antusias untuk mendukung revolusi sosialis. Mereka termotivasi oleh aspirasi individual berdasarkan status ekonomi mereka yang borjuis kecil. Yang menyatukan kelas petani secara kolektif hanyalah oposisi terhadap pajak dan pungutan paksa yang dilakukan oleh pemerintahan Bolsyevik untuk memasok para penduduk perkotaan.

Puncak oposisi tersebut diraih satu minggu sebelum Kongres Partai Komunis (Bolsyevik) pada bulan Maret 1921. Para kelasi angkatan laut memberontak di Benteng Konstradt, yang menjaga pelabuhan ibukota. Benteng yang amat strategis ini telah memainkan peranan heroik dalam revolusi tahun 1917, namun komposisi pasukan di situ sangat berubah antara tahun 1917 dengan 1921. Unsur-unsur sosial terbaik sudah lama sebelumnya berangkat ke garis depan. Mereka diganti oleh petani yang (seperti tercatat diatas) tidak menonjolkan kesadaran sosialis. Saat memberontak, mereka ajukan tuntutan seperti "soviet tanpa Bolsyevik" dan pasar bebas untuk produk pertanian, yang secara praktis berarti melikuidasikan revolusi sosialis. Sehingga mau tidak mau, pemberontakan itu harus dihancurkan.

Kejadian-kejadian Kronstadt memperlihatkan secara terang-terangan perselisihan kepentingan antara kedua kelas yang melakukan revolusi tahun 1917. Sehingga peristiwa itu merupakan peringatan yang amat serius. Revolusi sedang dibela, bukan oleh massa buruh, melainkan oleh angkatan bersenjata. Pemerintahan revolusioner semakin terisolasi, karena massa rakyat kebanyakan petani. Semua faksi dalam Partai Bolsyevik sepakat, bahwa krisis itu hanya bisa diatasi dengan memberikan konsesi kepada kaum tani yang menuntut pasar bebas, sekaligus mempertahankan rezim pemerintahan yang sentralistik. Solusi ini dicap sebagai Kebijakan Ekonomi Baru (akronim Bahasa Rusia: NEP). Tujuannya adalah mencari rekonsiliasi antara kaum tani dan rezim Bolsyevik serta merangsang pembangunan ekonomi dengan memberikan ruang tertentu untuk produksi swasta. Negara dan perusahaan milik negara beroperasi hanya sebagai satu unsur saja dalam perekonomian yang sebagian besar ditentukan oleh kebutuhan kaum tani dan perkembangan pasar bebas.

Partai, Negara dan Kelas Pekerja antara Tahun 1921 sampai dengan 1928

Selama periode NEP negara Rusia tidak lagi bisa mengklaim diri sebagai negara "sosialis" dalam artian yang minimal pun; dari satu sisi hubungan antara kelas pekerja dengan negara tidak lagi mencerminkan aspirasi kaum buruh; dari sisi lain perekonomian tidak lagi menonjolkan sifat-sifat paska-kapitalis. Kaum pekerja tidak berkuasa dan ekonomi tidak direncanakan oleh negara. Namun aparatus negara tetap di tangan Partai Bolsyevik yang masih berpegang pada program sosialisnya, sehingga kebijakan pemerintah diharapkan tetap sosialis.

Tetapi dinamika sosial-politik waktu itu agak kompleks. Yang pertama, lembaga-lembaga yang bercokol di Rusia tahun 1921 sudah jauh berbeda dari soviet-soviet dan Partai Bolsyevik di tahun 1917. Para aktivis Bolsyevik yang ikut partisipasi dalam Revolusi Februari adalah orang revolusioner berkomitmen yang menanggung resiko berat selama berjuang bertahun-tahun melawan Tsar. Mereka tidak melepaskan prinsip-prinsip sosialisme bahkan ketika harus menghadapi empat tahun perang sipil dan ketersekatan dari rakyat pekerja. Namun pada tahun 1919 unsur-unsur ini hanya merupakan 10% dari anggota partai; pada tahun 1922 hanya 2-3%. Karena Partai Bolsyevik telah bertumbuh secara dasyat. Banyak sekali orang yang masuk partai itu yang bukan revolusioner melainkan merupakan unsur-unsur oportunis yang ingin naik daun dalam birokrasi negara.

Bukan hanya partai yang degenerasi tetapi juga aparatus negara. Untuk menjalankan pemerintahan negara dalam kondisi perang dan krisis ekonomi, rezim Bolsyevik terpaksa mempekerjakan ribuan pegawai dari zaman Tsar, dan pegawai-pegawai ini sulit diatur oleh kaum Marxis. Seperti Lenin katakan di kongres partai 1922:

"Cukup jelas apa yang kurang. Lapisan atas kaum komunis kekurangan budaya. Mari kita simak keadaan di Moskow. Massa birokrat ini – siapa yang memimpin siapa? Apakah 4.700 komunis yang bertanggung-jawab sedang memimpin massa birokrat itu atau sebaliknya? Rasanya kita tidak bisa mengatakan dengan jujur bahwa kaum komunis sedang memimpin massa birokrat itu."

Menjelang akhir tauh 1922 dia melukiskan aparatus negara sebagai sesuatu yang "dipinjam dari rezim Tsaris dan nyaris tidak tersentuh oleh dunia soviet … sebuah mekanisme borjuis-Tsaris".

Di bawah kebijakan NEP para aktivis partai harus menghadapi para pedagang kecil, para kapitalis picisan, para petani kaya ("kulak") – serta bekerjasama dengan mereka sampai titik tertentu. Banyak di antara para aktivis yang terpengaruhi oleh pergaulan itu. Di saat yang sama, konsesi yang harus diberikan kepada kaum tani menurunkan (secara relatif) posisi ekonomi kam buruh. Posisi itu juga menurun dibandingkan dengan para pimpinan dan manajer industri. Pada tahun 1922, 65% dari kaum manajer masih buruh; tetapi setahun kemudian angka itu sudah jatuh menjadi 36%. Para "industriawan merah" semakin menikmati gaji tinggi dan privilese yang tak terjangkau oleh massa pekerja, sedangkan pengelolaan oleh satu orang yang punya kewenangan untu memecat orang lain (one man management) menjadi fenomena umum. Di saat yang sama, angka tunakarya naik terus menjadi 1,4 juta pada tahun 1923-24.

Perselisihan dalam Partai

Manusia membuat sejarah, tetapi dalam kondisi yang tidak mereka pilih; dalam membuat sejarah mereka juga merubah baik kondisi itu maupun diri sendiri. Partai Bolsyevik tidak kebal akan hukum materialis ini. Dalam upaya menegakkan rezim sosialis di hadapan perang sipil dan krisis sosial, kehendak sosialis mereka menjadi faktor historis, tetapi kekuatan-kekuatan sosial yang harus mereka kerahkan demi tujuan itu tak urung merubah wajah Partai Bolsyevik itu sendiri.

Mereka harus menjadi perantara antara berbagai kelas sosial guna menghindari konflik destruktif, dan revolusi Bolseyvik hanya bisa bertahan dengan memuaskan kebutuhan kelas-kelas yang beraneka-ragam itu. Partai Bolsyevik, yang posisinya semakin di atas kelas-kelas sosial tersebut, mulai mencerminkan pengaruh kekuatan-kekuatan yang bevariasi itu. Satu-satunya kelas yang memiliki potensi sosialis – kelas pekerja – sangat lemah dan kurang terorganisir waktu ini sehingg pengaruhnya merosot di dalam partai Bolsyevik tersebut, meskipun tentu saja kaum Bolsyvik terus mengatasnamakan kelas pekerja.

Oposisi Kiri

Tidak bisa disangkal bahwa dalam hal gagasan politik, Oposisi Kiri merupakan faksi intern dalam partai yang paling dekat dengan tradisi Marxis yang sejati. Kelompok ini menolak mendefiniskan kembali "sosialisme" menjadi perekonomian petani ataupun akumulasi industrial. Mereka berpegang pada demokrasi buruh sebagai sifat utama sosialisme, dan juga menolak mensubordinasikan revolusi global di bawah slogan "sosialisme satu negara".

Meski demikian, Oposisi Kiri tidak merupakan faksi "proletarian", karena di Rusia pada tahun 1920-an, kelas pekerja terlalu lemah untuk berdampak besar pada partai. Seusai perang sipil, kelas itu memang bangkit kembali, tetapi dalam kondisi yang membuatnya sangat lemah dalam memperjuangkan kebutuhannya. Angka pengangguran cukup tinggi; para aktivis buruh yang paling militan banyak yang gugur dalam perang sedang banyak juga yang naik daun menjadi pejabat negara; sebagian besar dari kelas pekerja terdiri dari petani yang baru datang dari udik. Pada umumnya mereka tidak mendukung Oposisi Kiri melainkan bersikap apatis terhadap dunia politik, sehingga agak mudah dimanipulasi dari atas. Oposisi Kiri mendapati diri dalam sebuah situasi yang cukup lazim bagi kaum kiri: memiliki sebuah program untuk aksi revolusioner kelas pekerja pada saat kaum pekerja sendiri terlalu lelah dan demoralisasi untuk berjuang.

Selain itu, Oposisi Kiri terhambat oleh pengakuannya akan kenyataan ekonomi. Argumentasi mereka menekankan bahwa kurangnya sumber daya akan membuat kehidupan massa rakyat amat payah walaupun rezim menerapkan kebijakan yang mana pun. Mereka juga menekankan perlunya baik mengembangkan industri dalam negeri maupun meluaskan revolusi ke negeri lain sebagai cara untuk menyelamatkan ekonomi intern. Namun dalam jangka pendek mereka tidak bisa menawarkan banyak bantuan bagi kaum pekerja.

Dalam garis besar, Oposisi Kiri mengajukan tiga tuntutan pokok yang saling berkaitan:
  1. Revolusi hanya dapat maju ke arah sosialisme jika perkotaan dan industri diperkuat agar tidak didominasi oleh pedesaan dan pertanian. Untuk itu kaum tani kaya harus kena pajak yang tinggi.
  2. Perkembangan industrial ini harus disertai dengan demokrasi buruh yang lebih mendasar, demi menghindari kecenderungan birokratis dalam partai dan negara.
  3. Kedua kebijakan tersebut bisa mempertahankan Rusia sebagai benteng revolusi, tetapi tidak mampu mencapai tingkatan material dan kultural yang diperlukan untuk menerapkan sosialisme. Itu hanya mungkin jika revolusi meluas ke Eropa Barat.
Dari segi ekonomi, tidak ada yang mustahil dalam program ini. Padahal beberapa tahun kemudian Stalin sendiri menjalankan percencanaan industrial dan serangan pada kaum tani, namun dengan tujuan yang jauh berbeda dari tujuan Oposisi Kiri. Namun mereka yang menguasai partai pada tahun 1923-28 tidak sepakat dengan usulan-usulan tersebut saat itu; mereka menghantam dan mengucilkan Oposisi Kiri. Partai Bolsyevik tidak bisa terima program ini karena partai itu semakin didominasi dua kekuataan yang antagonistis terhadap grup Kiri.

Grup "Kanan" dan Grup "Tengah"

Kekuatan yang pertama terdiri atas unsur-unsur yang tidak menganggap konsesi kepada kaum tani sebagai sesuatu yang bertentangan dengan sosialisme. Mereka malah ingin menyesuaikan kebijakan-kebijakan partai dengan kepentingan petani. Ini bukan hanya merupakan platform teoretis, melainkan juga mencerminkan kepentingan semua unsur dalam partai dan lembaga-lembaga pemerintahan yang suka berkolaborasi dengan golongan petani kaya dan para pedangang parasit yang bangkit di bawah naungan kebijakan NEP. Unsur-unsur ini merupakan semacam faksi "Kanan". Pemimpin utama mereka adalah Nikolai Bukharin yang mengajak kaum tani "memperkaya diri".

Kekuataan kedua mendapat dukungan dari berbagai unsur baik di dalam maupun di luar partai. Kalau disimak secara dangkal, yang menjadi kekhawatiran mereka adalah ketegangan sosial yang harus diatasi, sehingga mereka melawan usulan untuk menyerang kaum tani tetapi tidak memihak kubu petani secara langsung. Dalam partai mereka didukung terutama oleh unsur-unsur yang ingin mengkonsolidasikan aparatus partai secara birokratis. Pemimpan utama mereka adalah Stalin yang mengepalai aparatus partai.

Di mata Oposisi Kiri, faksi Stalin tampaknya seperti faksi "tengah" yang terambong-ambing antara tradisi Marxis dan sikap pro-petani kaum "Kanan". Namun pada tahun 1928, Stalin tiba-tiba menerapkan butir pertama dalam program Oposisi Kiri – dengan menyerang faksi "Kanan", menjalankan program industrialisasi dan kolektivisasi yang intensif. Orang-orang Oposisi Kiri itu terperangah. Nyatanya Stalin mempunyai dasar sosial sendiri. Dia bisa bertahan tanpa dukungan dari kelas proletariat ataupun kelas petani. Faksi ini berlandaskan birokrasi partai. Dengan runtuhnya gerakan buruh sosialis, birokrasi ini semakin kokoh berdiri di tengah masyarakat. Juga banyak mantan pejabat Tsaris yang masuk birokrasi tersebut dan naik daun. Partai (bukan lagi kaum buruh sendiri) yang menguasai masyarakat, tetapi birokrasilah yang menguasi partai.

Mula-mula sikap birokrasi itu agak pasif; mereka hanya melawan dan memblokir prakarsa-prakarsa yang dapat mengancam posisi mereka, seperti usulan-usulan Oposisi Kiri umpamanya. Selama birokrasi masih mengambil sikap reaktif ini, mereka cenderung bersekutu dengan faksi "Kanan", sehingga kuatnya birokrasi sebagai kekuatan sosial belum kentara. Represi yang dijalankan birokrasi tersebut tampaknya merupakan upaya untuk memaksakan kebijakan-kebijakan pro-petani.

Namun dalam periode ini birokrasi sedang berkembang menjadi sebuah kelas sosial independen.

Kontra Revolusi Stalinis

Trotsky pernah mengatakan, bangkitnya rezim stalinis tidak bisa disebut sebagai "kontra-revolusi" karena terjadi melalui sebuah proses gradual. Namun tidaklah benar bahwa semua peralihan dari satu bentuk masyarakat ke bentuk lain merupakan perubahan cepat dan terkonsentrasi. Peralihan dari kapitalisme ke sebuah negara buruh memang demikian, karena kelas pekerja tidak bisa memapankan kekuasaannya sedikit demi sedikit. Namun dalam transisi dari masyarakat feodal ke sistem kapitalis tak jarang ada perubahan yang melewati bermacam-macam konflik kecil selama bertahun-tahun. Begitu pula kontra-revolusi stalinis.

Birokrasi tidak perlu merebut kekuasaan dari kelas pekerja secara sekali pukul. Runtuhnya kelas pekerja sebagai akibat perang sipil menyebabkan birokrasi semakin memegang kekuasaan. Para pejabat negara dan partai sudah mendominasi industri, kepolisian dan militer. Mereka hanya tinggal membentuk lembaga-lembaga itu kembali sesuai dengan kepentingan mereka sebagai kelas penguasa. Proses ini bukanlah "gradual", melainkan melewati sejumlah konfrontasi.

Konfrontasi yang pertama dan terpenting terjadi antara unsur-unsur stalinis dengan Oposisi Kiri. Walau golongan kiri itu tidak selalu melawan langkah-langkah yang diambil oleh Stalin, tetapi faksi stalinis menyambut pernyataan pertama Oposisi kiri dengan luar biasa sengit. Para tokoh kiri difitnah dan aparatus partai digunakan untuk mencopot para pendukung Oposisis Kiri tersebut. Untuk membenarkan taktik semacam ini yang jauh dari tradisi Bolsyevik, golongan stalinis menemukan dua konsep ideologis baru yang dipertentangkan. Di satu pihak mereka mengkultuskan dan mengidolakan Lenin, bahkan mayat Lenin dimumiakan. Di pihak lain mereka menciptakan "Trotskisme" sebagai kambing hitam. Kutipan-kutipan lama dari Lenin digunakan untuk menimbulkan ilusi bahwa Lenin dan Trotsky sama sekali bermusuhan; di saat yang sama kaum Stalinis tidak menghiraukan surat wasiat Lenin yang terakhir, yang menyebut Trotsky sebagai "anggota Komite Pusat yang paling mampu" serta mengusulkan agar Stalin dicopot dari posisinya.

Konfrontasi kedua mulainya agak berbeda. Mula-mula bukan merupakan konflik antara birokrasi dan para aktivis partai yang masih berpegang pada aspirasi sosialis, melainkan antara Zinoviev (yang secara formal menjabat posisi tertinggi dalam partai) dan aparatus nasional partai yang sebenarnya jauh lebih kuat. Di kota Leningrad, Zinoviev menguasai aparatus setempat. Cara aparatus itu bertindak kurang lebih sama dengan aparatus di tempat lain, namun fakta bahwa aparatus di Leningrad independen dari aparatus nasional menjadi sebuah hambatan bagi birokrasi. Leningrad bisa menjadi sumber kebijakan alternatif yang dapat mengacam posisi birokrasi secara keseluruhan. Maka aparatus di Leningrad harus diintegrasi dalam aparatus nasional. Zinoviev tumbang. Setelah itu, Zinoviev perpaling ke tradisi Bolsyevik dan mengambil sikap dekat dengan Oposisi Kiri; selama tahun-tahun kelak dia terombang-ambing antara Stalin dan Trotsky.

Sesudah tumbangnya Zinoviev, Stalin dan para pedukungnya semakin memegang kekuasaan. Mereka menghantam Oposisi Kiri. Pada tahun 1928 Stalin mulai meniru Tsar dengan membuang para aktivis kiri ke Siberia. Namun langkah-langkah sedrastis ini belum juga cukup. Akhirnya dia membunuh para tokoh terkemuka Partai Bolsyevik, termasuk para tokoh "Kanan" seperti Bukharin.

Faksi Stalinis sudah menguasai negara, tetapi belum menguasai seluruh Rusia. Birokrasi telah mengambil alih kekuasaan dari kelas pekerja di perkotaan, tapi pedesaan belum disentuh. Hal ini tiba-tiba menjadi perhatian Stalin pada tahun 1928, ketika kaum tani menolak memasok kota-kota. Stalin membalas dengan menjalankan kolektivisasi paksa. Dominasi perkotaan, yang pernah diajukan oleh Oposisi Kiri sebagai program kiri, dipaksakan oleh Stalin dengan implikasi lain. Sumber-sumber daya diperas dari pedesaan demi program akumulasi modal secara intensif. Dorongan untuk mengakumulasi modal merupakan dinamika kapitalis. Rusia telah menjadi sebuah masyarakat kapitalis tipe baru: kapitalisme negara.

Sumber: Suara Sosialis (http://arts.anu.edu.au/suarsos)

Abad Revolusi I:

Abad siapa? Milenium siapa? Refleksi atas Zaman Kita

Aijaz Ahmad

ADA banyak ciri dari peradaban modern, yang postif maupun yang destruktif, yang khas abad ke-20, baik karena ciri-ciri tersebut tidak ada di masa lalu, atau yang lebih lazim, karena ciri-ciri ini telah berubah di luar yang kita bayangkan. Kebanyakan narasi mengedepankan persoalan ilmu pengetahuan dan teknologi, yang asalnya bukan abad ini tetapi telah mengubah kumulatif seluruh pola keberadaan manusia dengan cara-cara yang tak terbayangkan pada akhir abad sebelumnya. Misalnya dikemukakan bahwa pada abad ke-20 terjadi perkembangan besar kekuatan-kekuatan produksi, yang menghasilkan peningkatan besar kapasitas umat manusia untuk memproduksi kekayaan, yang lebih besar daripada seluruh abad dan milenia sebelumnya. Perubahan teknologi yang pesat ini jelas terlihat dalam produksi industri dan teknologi informasi; bahkan dalam pertanian perubahannya begitu dramatis sehingga kaum tani dalam pengertian lama, pertanian pemenuhan kebutuhan sendiri dan produksi untuk digunakan secara lokal dengan alat-alat bukan industri, sekarang di sebagian terbesar dunia sedang menghilang. Pada ujung lain pencapaian ini, aspek destruktif teknologi mendatangkan ancaman pada lingkungan alam, yang untuk pertama kali dalam sejarah umat manusia, sehingga tidak jelas apakah spesies, ataukah planet itu sendiri, bisa selamat dari kehancuran.

Dengan kata lain, secara anekdotal orang bisa mengisolasi ciri ini atau itu, menurut selera atau minatnya, atau orang bisa sekadar membuat daftar sembarangan ciri-ciri terisolasi itu. Banyak dari ciri itu sangat penting. Akan tetapi pertama-tama sangat penting membuat gambar yang koheren tentang zaman kita, meskipun abad ini berakhir di tengah-tengah deklarasi yang gegap-gempita tentang akhir dari begitu banyak yang lain: tamatnya ideologi, tamatnya sejarah, tamatnya modernitas, tamatnya sosialisme, tamatnya bangsa dan negara-bangsa, dan sebagainya. Saya dalam tulisan lain menggunakan istilah "Pasca Kondisi" suasana pemikiran pascamodern yang tampaknya berkubang dalam ketemaraman yang permanen. Tetapi, untuk membuat gambar yang koheren tentang abad yang sekarang mengabur ke masa lalu, paling baik mengingat kembali aspirasi-aspirasi dan perjuangan-perjuangan sentralnya; semuanya, termasuk ilmu pengetahuan dan teknologi, bisa dipandang dalam perspektif yang tepat. Kemudian, dalam tulisan ini saya akan berkomentar dengan cara yang sangat umum tentang apa yang merupakan ciri pendefinisi abad ini. (Esai-esai selanjutnya dalam seri ini akan menyoroti soal-soal yang lebih khusus.) Ketika mulai merefleksikan abad ke-20, perlu sedikit pemahaman untuk mengerti bahwa apa yang membuat abad ini khas dalam seluruh abad milenium yang sekarang juga sedang mendekati akhirnya, dan seluruh milenium yang sebelumnya, adalah bahwa sosialisme muncul sebagai fakta sentral sekitar mana hampir semua aspirasi dan konflik pada skala global terbentuk: perjuangan untuk dan menentang sosialisme, pencapaian untuk mewujudkannya, kegagalan dan kekalahannya, sekutu-sekutu dan musuh-musuhnya, perang (panas dan dingin), penumpahan darah tetapi juga kebesarannya.

Itu adalah salah satu cara untuk mengatakannya. Sama bisa dimengertinya, orang bisa mengatakan bahwa abad ini dibentuk sebagai segi tiga oleh kekuasaan imperialis di satu sisi, dan perjuangan menentang kekuasaannya pada sisi lain, yang dilancarkannya, utamanya oleh kekuatan-kekuatan sosialisme dan pembebasan nasional. Tidak satupun dari kekuatan-kekuatan ini berasal dari abad ke-20. Sejarah kapitalisme kolonialis merentang sepanjang setengah milenium, dan tak satupun rakyat yang disapu-bersih oleh kolonialisme tanpa melakukan perjuangan; dalam pengertian ini anti-kolonialisme itu sama tuanya dengan kolonialisme itu sendiri. Dan, sejumlah gagasan awal tentang sosialisme muncul pada akhir abad ke-18, di dalam kawah Revolusi Prancis. Karena itu gagasan sosialisme itu sama tuanya dengan gagasan tentang revolusi itu sendiri, dalam pengertian modern; dan, pada pertengahan abad ke-19, Marx dan Engels telah mulai merumuskan teori tentang revolusi proletariat yang diwarisi oleh abad ke-20. Akan tetapi, semua kekuatan ini – kapitalisme dan kolonialisme, serta sosialisme dan pembebasan nasional anti-kolonial – mengalami perubahan besar-besaran selama abad ke-20. Mengingat beberapa rinciannya memberi kita perspektif yang baik tentang perubahan-perubahan yang sangat penting ini.

Partai-partai massa kelas buruh memang muncul di Eropa pada perempat terakhir abad ke-19, dan pada dasawarsa 1920-an partai-partai itu telah menduduki posisi-posisi penting di Parlemen, bahkan memenangkan pluralitas suara di negeri-negeri seperti Jerman, Austria, Belgia, Swedia, Norwegia, Findlandia, Italia, dan Negeri Belanda. Akan tetapi Revolusi Bolshevik adalah peristiwa kunci yang mengajukan persoalan perubahan revolusioner pada agenda di sejumlah negeri. Kombinasi partai-partai massa kelas buruh dan kemungkinan revolusi di seluruh benua [Eropa] inilah yang menghasilkan gejala fasisme. Tidak mengherankan bahwa fasisme paling ganas di empat negeri ini – Spanyol, Jerman, Italia, dan Austria – yang gerakan buruhnya paling kuat. Juga tidak mengejutkan bahwa kecenderungan-kecenderungan fasistis Kanan Jauh terus menjadi kecenderungan yang tepat waktu di zaman imperialisme sepanjang abad ini pada tingkat global.

Tetapi Revolusi Bolshevik juga mengubah politik sosialis dari gejala Eropa menjadi gejala internasional, gejala global. Transformasi ini disebabkan oleh lima faktor. Bahwa pemutusan revolusioner pertama kali terjadi di masyarakat Russia yang umumnya agraris menghasilkan perubahan besar dalam teori revolusi, menempatkan persekutuan buruh-petani sebagai prasyarat bagi politik proletariat, yang dengan demikian membuka jalan bagi kaum tani untuk muncul sebagai kekuatan revolusioner. Semua revolusi yang meletus sesudah Revolusi Bolshevik terjadi di masyarakat yang umumnya petani. Kedua, teori Bolshevik, seperti yang dikemukakan oleh Lenin dan kawan-kawannya, serta menentang semua arus pemikiran borjuis Eropa, mengakui keabsahan persoalan nasional dan kolonial, yang dengan demikian mengakui perlunya perang pembebasan nasional di seluruh Asia, Afrika, Amerika Latin dan di sudut-sudut Eropa sendiri. Semua revolusi sosialis sesudahnya punya hubungan intrinsik dengan nasionalisme revolusioner dan anti-imperialisme, sedang politik komunis punya pengaruh yang besar pada banyak gerakan nasionalis, dari India sampai Afrika Selatan. Ketiga, Komunis Internasional (Komintern) selama dua dasawarsa atau lebih merupakan tempat banyak orang revolusioner belajar mengenai teori dan praktek revolusi sosialis dan sebagai forum kaum militan dari seluruh dunia untuk belajar satu sama lain secara langsung, dengan sedikit halangan bahasa, ras, wilayah atau agama. Keempat, teori dan praktek sosialisme menjunjung tinggi gagasan bahwa perubahan revolusioner diperlukan tidak hanya oleh kelas-kelas yang terbentuk di wilayah pemilikan dan produksi – dengan kata lain, buruh dan petani – tetapi juga oleh seluruh kelompok sosial yang menghadapi berbagai macam penindasan: kaum perempuan sebagai kaum perempuan, kaum minoritas sebagai kaum minoritas, golongan pengrajin yang diluluh-lantakkan oleh pasar kapitalis, kelompok-kelompok bahasa, satuan-satuan budaya, dan sebagainya; bahwa perempuan seluruh bangsa atau agama punya kepentingan yang sama – gagasan tentang Internasional Perempuan, misalnya, pertama tumbuh di medan sosialis, jauh sebelum feminisme modern terbersit di benak siapapun. Kesatuan sosialis dipandang sebagai percaturan dialektis antara seluruh kepentingan partikular, golongan dengan kepentingan bersama, universal – karena itulah muncul konsepsi terkenal Gramsci tentang partai Komunis sebagai "intelektual kolektif."

Terakhir, semua ini diterjemahkan menjadi kebudayaan universalis yang kuat. Kebudayaan ini terdiri dari lembaga-lembaga – partai-partai politik, serikat-serikat buruh, organisasi-organisasi massa perempuan dan pelajar/mahasiswa, kelompok-kelompok teater, perhimpunan-perhimpunan penulis, komite-komite anti-fasis, dan seterusnya – dan nilai-nilai. Bertentangan tajam dengan globalisasi kapitalis yang secara intrinsik bersifat rasis, nilai utama yang dijunjung tinggi dalam internasionalisme sosialis adalah kesetaraan radikal universal. Maka, dalam pengertian ini, gerakan sosialis menjadi pendukung utama nilai-nilai rasional dan egaliter Pencerahan abad ke-18. Karena itu, dengan sangat tepat Eric Hobsbawm menyebut arus sosialis kumulatif sebagai "Kiri Pencerahan." Karena itu pulalah serangan pascamodernis terhadap Marxisme bergandeng-tangan dengan serangan terhadap Pencerahan.

Karena semua revolusi sosialis adalah revolusi abad ke-20, dan karena pada abad inilah sosialisme tidak lagi merupakan gejala Eropa dan menyebar ke seluruh dunia, menjadi warisan umum untuk seluruh umat manusia dan aspirasi bagi emansipasi universal, kita bisa mengatakan bahwa perjuangan praktis untuk sosialisme adalah gejala unik abad ke-20.

Beberapa transformasi analog terjadi dalam perjuangan anti-kolonial juga. Ciri menonjol semua perjuangan anti-kolonial sebelum abad ini adalah bahwa mereka dipimpin dan dilancarkan oleh strata tradisional, untuk mempertahankan sistem dan nilai tradisional. Sebaliknya, ciri menonjol gerakan anti-kolonial abad ke-20 adalah bahwa di banyak tempat kepemimpinan bergeser, dan semakin bergeser, ke kelas-kelas dan kelompok-kelompok sosial jenis modern, yang berjuang untuk masa depan yang dibayangkan sebagai baru dan berbeda [dari yang lama]. Bukannya gerakan-gerakan itu tidak punya kaitan dengan nilai-nilai budaya tradisional, tetapi pada jantung hampir semua visi itu adalah penciptaan suatu masyarakat baru di atas puing-puing penindasan kolonial. Oleh sebab itu, di banyak tempat gerakan anti-kolonial cenderung melebur dengan gerakan-gerakan reformasi sosial, dengan semangat demokratisasi yang berbeda-beda.

Revolusi Bolshevik besar pengaruhnya pada nasib gerakan anti-kolonial. Karena Russia zaman Tsar sendiri ada di pusat imperium kolonial yang sangat besar, yang belum lama melancarkan perang melawan bangsa Asia musuhnya (Jepang), suatu revolusi di sana secara wajar mengilhami banyak militan anti-kolonial. Kemudian Bolshevik mengumumkan kebijakan mendukung pembebasan nasional. Ketiga, ada gagasan yang amat sangat populer tentang penggalangan kekuatan buruh dan petani demi kebebasan: suatu revolusi bukan dari atas, oleh golongan elit, tetapi dari bawah, oleh massa. Kontribusi kunci sosialisme pada gerakan-gerakan anti-kolonial – dan seluruh gerakan untuk perubahan radikal – adalah bahwa proses emansipasi hanya bisa menjadi proses emansipasi-diri oleh kaum tertindas itu sendiri.

Keempat, keterlibatan langsung kaum komunis di banyak gerakan anti-kolonial. Kelima, fakta bawah kekuasaan kolonial utama juga adalah musuh sosialisme telah menciptakan afinitas alamiah dengan perjuangan sosialisme di banyak kalangan militan anti-kolonial. Kalau semua revolusi sosialis Asia dan Afrika mengambil bentuk gerakan pembebasan nasional, seluruh gerakan komunis dan sosialis di benua kita yang menjadi gerakan massa juga berbuat demikian dalam perspektif dan lingkungan nasionalisme. Tetapi, karena ini adalah nasionalisme revolusioner, ia berpikir tentang nasionalisme tidak sebagai sesuatu yang tertutup pada dirinya dan menyingkirkan yang lain, seperti nasionalisme etnis pada masa kini, tetapi sebagai bagian dari gerakan internasional melawan musuh kolonial bersama. Maka, sosialisme punya pengaruh pembudayaan yang dalam terhadap nasionalisme itu sendiri, menyelamatkannya dari chauvinisme dan prasangka sempit, serta memberinya isi universalis.

VISI tentang nasionalisme sebagai bagian dari proyek untuk emansipasi universal ini sangat diperkuat oleh dukungan besar yang dengan tepat waktu diterima gerakan-gerakan anti-kolonial dari negeri-negeri sosialis dan gerakan komunis seluruh dunia. Amílcar Cabral, pemimpin besar revolusi Guiné-Bissau, pernah mengingatkan semua orang bahwa setiap senapan yang ditembakkan dalam revolusi anti-kolonial di benua Afrika asalnya dari negeri sosialis. Karena itu ada banyak macam pemimpin nasionalis di seluruh dunia, dari Nelson Mandela sampai Yasser Arafat, yang sama sekali bukan komunis, tetapi menolak menjadi bagian dari perjuangan anti-komunis. Dan semua rejim nasionalis radikal, dari rejim Nasser di Mesir sampai FLN [Front Pembebasan Nasional] di Aljazair, yang menindas kaum komunis di dalam wilayahnya sendiri, menjalankan reformasi yang diilhami oleh proyek sosialis dan sangat mengandalkan pada Uni Soviet dalam perjuangan mereka merebut kemerdekaan dari imperialisme. Gerakan Non-Blok – yang lebih tepat disebut proyek Bandung – tak akan terbayangkan tanpa dukungan implisit dari negeri-negeri sosialis; Zhou En-lai [Perdana Menteri Republik Rakyat Tiongkok saat itu] dan Marsekal Tito [Presiden Republik Rakyat Yugoslavia saat itu] adalah tergolong pendirinya yang penting.

Ringkasnya, nasib nasionalisme radikal sangat terkait dengan nasib proyek sosialis, dan yang satu tidak akan bisa bertahan tanpa yang lain. Bisa dikatakan bahwa hancurnya Uni Soviet merupakan kemunduran besar bagi nasionalisme anti-imperialis dan juga bagi gerakan buruh. Juga tidak mengherankan bahwa nasionalisme etnis dan agama pada masa sekarang ini, yang tidak mengambil ilham menguntungkan dari sosialisme, cenderung sangat kanan dan gampang membunuh.

Tetapi bagaimana dengan musuh besar: imperialisme. Seperti kita kemukakan sebelumnya, sejarah kolonialisme meliputi kurun waktu setengah milenium. Kemudian, dengan pembagi-bagian Afrika, penaklukan kolonial terhadap dunia diselesaikan mendekati akhir abad ke-19. Pada fajar abad ke-20, meluasnya partai-partai buruh di Eropa dibayang-bayangi oleh persaingan sengit negara-negara penjajah yang akhirnya menjurus pada dua perang dunia yang membagi ulang dunia, berpuncak pada fasisme serta penemuan senjata penghancuran massal, yang mengancam kelangsungan hidup peradaban umat manusia itu sendiri. Kalau fasisme telah memangsa nyawa jutaan korban secara metodis dan dengan darah dingin, penggunaan bom atom oleh Amerika telah mendramatisir tingkat kekejaman yang bisa dilakukan oleh negara "demokrasi liberal." Melalui cara-cara itu diambil keputusan akhir apakah Nazi atau Amerika yang mendominasi planet bumi. Maka dari perspektif ini, kisah abad ke-20 juga bisa dikisahkan sebagai munculnya AS sebagai negara dominan tunggal di seluruh dunia. Kisah ini punya tiga tahap.

AMERIKA SERIKAT telah muncul sebagai negara kapitalis terkemuka pada akhir abad ke-19, mengalahkan Inggris. Karena itu perannya menjadi menentukan pada dua Perang Dunia. Pada akhir Perang Dunia Pertama, New York telah mengalahkan London sebagai pusat urat syaraf keuangan dunia, dan Presiden AS, Woodrow Wilson adalah orang yang mensupervisi penyelesaian pasca perang. Akan tetapi, baru setelah Perang Dunia Kedua, dengan penghapusan imperium-imperium kolonial dalam konteks dimana masing-masing negara Eropa telah saling menghancurkan bagian besar dari sumberdayanya, AS muncul menduduki supremasi global dunia kapitalis tanpa tandingan. Sampai sekitar pertengahan abad ini, pembagian dunia ke dalam imperium-imperium kolonial yang bersaingan telah menghambat munculnya pasar global yang sempurna yang mensyaratkan kapital bergerak tanpa hambatan apapun dan sama aksesnya ke seluruh wilayah yang dikuasainya, dan harus ada kekuasaan tunggal, atau sekurang-kurangnya kekuasaan yang bersatu untuk menjamin akses tersebut. Penghapusan imperium-imperium kolonial memudahkan munculnya AS ke posisi utama hegemonik itu. Untuk setengah abad berikutnya, AS mereorganisasikan pasar dunia di bawah hegemoninya dan mempersatukan dunia kapitalis di bawah kepemimpinan militer dan politiknya menghadapi tantangan sosialis dan kekuatan-kekuatan yang berhasil melepaskan diri dari belenggu melalui perang-perang pembebasan nasional. Karena akumulasi tanpa preseden yang dimungkinkan oleh kesatuan luar biasa dunia kapitalis, AS juga menjalankan peran utama dalam melancarkan revolusi seluruh bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, yang dengan sangat baik didukung oleh sekutu-sekutunya di Eropa dan Jepang.

Akan tetapi ada satu komplikasi. Krisis Perang Dunia Kedua yang telah memusnahkan kekuasaan kolonial dan menempatkan AS pada kedudukan hegemonik di dalam dunia kapitalis juga telah menghancurkan isolasi terhadap Uni Soviet sebagai satu-satunya negeri sosialis di dunia, dengan prestasi kuat dibuat di Eropa Tenggara dan Asia Timur, dan akhirnya di sudut-sudut Amerika Latin/Karibea dan juga Afrika.

Kalau Revolusi Bolshevik adalah peristiwa utama perempat pertama abad ini, Revolusi Tiongkok juga demikian dalam perempat kedua, dan revolusi Kuba dan Vietnam adalah peristiwa utama perempat ketiga. (Bahwa revolusi tidak terjadi di India itu sama signifikannya dengan fakta bahwa revolusi telah terjadi di Tiongkok; kegagalan India punya signifikansi menentukan dalam sejarah Asia selanjutnya. Tetapi ini memerlukan penjelasan tersendiri). Dan kalau gerakan-gerakan revolusioner yang muncul pada saat bangkitnya Revolusi Bolshevik dihantam cukup dengan kekuatan yang relatif kecil, tidak demikian halnya dengan revolusi-revolusi dan gerakan-gerakan revolusioner yang bangkit pada masa Revolusi Tiongkok. Baru setelah kekalahan di Chile, tahun 1973, gelombang pasang mulai menguntungkan imperialisme.

"Perang Dingin" adalah salah satu eufemisme yang paling bertentangan yang pernah dibuat oleh media. Masa 45 tahun antara berakhirnya Perang Dunia Kedua dan hancurnya Uni Soviet adalah tahun-tahun perang sipil yang sengit, tak kunjung padam, belum ada padanannya dalam sejarah di tingkat global. Benar bahwa tidak ada perang tembak-menembak antara AS dan Uni Soviet dan bahwa Eropa bagian tenggara mengalami perdamaian terlama dalam sejarah modern, tetapi hampir 200 perang pecah di Dunia Ketiga, kebanyakannya untuk menghalangi kemajuan komunisme, mengalahkan nasionalisme anti-kolonial, dan menahan gerakan-gerakan anti-imperialis lainnya yang baru muncul di negeri-negeri yang baru didekolonisasi. Embargo ekonomi dan intimidasi militer selama 40 tahun terhadap Kuba hanyalah ilustrasi kenyataan brutal bahwa tak satupun tempat kecil yang mengalami revolusi besar akan diperbolehkan mengalami kedamaian dan otonomi kalau sesuatu yang sama dengan sosialisme bisa dibangun di sana. Penghancuran manusia dan barang terhadap Vietnam sebelum Amerika mundur dari sana skalanya begitu besar sehingga Noam Chomsky dengan tepat mengatakan bahwa perang ini tidak dimenangkan oleh Vietnam tetapi oleh Amerika. Kisah yang sama terulang di tempat-tempat yang jauh seperti Angola, Moçambique, dan Nicaragua. Sementara itu Uni Soviet merosot kekuatannya karena pengeluaran sumberdaya yang luar biasa besar yang diperlukan untuk keamanan dirinya dalam menghadapi mesin militer gabungan negara-negara Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO). Kebanyakan rejim revolusioner kebingungan menghadapi persoalan-persoalan dan anakronisme-anakronismenya sendiri. Tetapi mengingat besarnya skala tekanan militer dan ekonomi yang bisa dilakukan imperialisme terhadap mereka, menyatakan bahwa telah terjadi kompetisi damai dalam mana rejim-rejim revolusioner itu hancur karena kalah dalam persaingan itu adalah pernyataan yang tidak senonoh.

TIGA perempat pertama abad ini adalah periode perluasan besar-besaran kekuatan sosialis, sekalipun ada banyak kelemahan. Arus baliknya mulai – dan kemudian berjalan dengan sangat pesat yang bahkan belum pernah dibayangkan oleh Central Intelligence Agency (CIA, dinas rahasia Amerika Serikat) – baru pada perempat keempat. Tulisan ini tidak memaparkan ringkasan kompleksitas arus balik itu. Cukup dikatakan bahwa baru setelah 1989-1990 AS memasuki tahap ketiga dominasinya yang masih berlangsung sekarang ini, karena baru setelah Uni Soviet hancur AS bisa mengatakan bahwa kekuataannya tanpa saingan dan tanpa tandingan: "superpower tunggal". Dalam kapasitas inilah ia berkemampuan mendesakkan rejim neo-liberalis akumulasi kapital di seluruh dunia, termasuk Eropa Barat sendiri dimana model Amerika, yang menggabungkan lapangan kerja yang tinggi (sering dengan tingkat upah yang telah dipotong) dengan kemiskinan yang luas, seperti yang telah diterapkan pada Inggris dan sekarang sedang didesakkan pada Eropa yang hampir semuanya diperintah oleh kaum demokrat sosial dan dimana "Eropa para bankir" yang bersatu sedang muncul dengan kedok Uni Eropa. Dan, dalam kapasitas inilah AS sepenuhnya mengubah NATO dan PBB menjadi alat politik luar negerinya, seperti diperlihatkan dalam Perang Teluk dan pemboman biadab terhadap Kosovo. Masih belum yang terakhir, badan-badan multilateral seperti World Trade Organization (WTO) menguniversalkan praktek-praktek korporasi, norma-norma hukum, dan model-model managemen yang digunakan oleh dan di Amerika Serikat. Melalui penerapan rejim neo-liberal inilah "Dunia Ketigaisasi" blok sosialis dilakukan dan krisis stagnasi Dunia Pertama diperlunak dengan mengekspor sejumlah hasil terburuknya ke negeri-negeri pinggiran, termasuk "macan" Asia Selatan dan Tenggara yang banyak dipuji-puji. Memang krisis sekarang yang terjadi di negeri-negeri "macan" itu dimanfaatkan untuk membeli aset-aset di sana dengan harga murah dan untuk memperlunak rejim-rejim perekonomian itu bagi masuknya neoliberalisme.

Pada penutup abad ini, ketika tidak ada lagi saingannya, pengeluaran AS untuk mempersenjatai diri lebih besar dibandingkan pengeluaran militer enam negara digabungkan jadi satu, yang berkaitan dengan kenyataan bahwa AS adalah satu-satunya kekuatan di dunia dengan jangkauan global yang memungkinkannya menghancurkan setiap rumah di planet ini dengan ketepatan luar biasa, dan dengan kekebalan hukum. Semua sekutunya, termasuk Eropa dan Jepang, mengandalkan padanya untuk mengamankan kepentingan mereka di wilayah-wilayah yang jauh dari pantainya sendiri – inilah sebabnya mereka bersikap patuh pada AS. Sekalipun mengalami kerusakan banyak cabang usaha produktifnya, AS tetap merupakan pusat global bagi pendidikan tinggi dan latihan untuk lapisan tekno-managerial yang punya hak istimewa. Dan, karena semua kemajuan yang dibuat oleh sekutu-sekutunya, terutama Jepang, di bidang teknologi informasi, AS tetap merupakan kekuatan korporat terkemuka dalam industri informasi yang ada sekarang, dengan kekuatan besar kontrol ideologis, khususnya terhadap Dunia Ketiga, terhadap mana satelit-satelit dan cabang-cabang serta antek-anteknya menyiarkan ke seluruh dunia berita-berita yang direkayasa di AS.

Gabungan monopoli tertinggi atas pendidikan tinggi kaum elit Dunia Ketiga dan atas industri informasi produksi ideologi yang luas jangkauannya telah berdampak luar biasa buruk bagi iklim politik negeri-negeri Dunia Ketiga. Misalnya, di India, tidak satupun saluran televisi atau koran nasional yang menyiarkan sepotong suara lain yang berbeda dengan padangan-dunia ekonomi dan politik Amerika; yang dipuja AS telah menjadi pikiran umum para informan pribumi ini. Ini juga bukan masalah intervensi langsung dengan kekuatan. Lebih dari sekadar merekayasa berita, AS merekayasa penyampai berita itu sendiri, dalam gaya dan kepekaan serta kesetiaan, melalui jaringan padat lembaga-lembaga yang saling berhubungan, dari kurikulum sekolah sampai pendidikan profesional yang berspesialisasi tingkat tinggi, tanpa memperhatikan lokasi geografisnya.

SEMENTARA sebagian besar abad ini, dari dasawarsa kedua sampai dasawarsa terakhir kedua, didominasi oleh perjuangan untuk dan menentang sosialisme, akhir abad ke-20 amat sangat mirip dengan akhir abad ke-19. Saat itu adalah masa dalam sejarah Asia dan Afrika, setelah kekalahan menentukan gelombang awal perjuangan anti-kolonial dan sebelum munculnya gerakan massa yang lebih modern abad ke-20, kekuatan kolonialisme paling besar dan anti-kolonialisme paling lemah.

Sekarang kita berada dalam proses rekolonisasi yang tidak punya preseden sejarah; ia berlangsung tanpa penaklukan teritorial seperti tipe kolonial tetapi mengambil kontrol atas sistem-sistem produksi, sumberdaya-sumberdaya lokal, rejim-rejim tenagakerja dan aparatus-aparatus ideologi, dalam cara yang paling invasif dan paling komprehensif yang dikenal sejarah. Perbedaan antara borjuasi nasional dan komprador sendiri menghilang; yang dulu borjuasi "nasional" sekarang telah menjadi komprador. Dalam kerangka yang lebih luas inilah kekuatan menakjubkan "superpower tunggal" yang telah bebas dari tantangan besar [blok sosialis], memperoleh keperkasaan yang tak terkalahkan, bahkan abadi. Di dasar semua kebohongan filosofis ideologi "Tamatnya Ideologi", yang sedang dipuja ialah bahwa kekuatan ini sekarang tak akan hancur. Hanya 13 tahun setelah berakhirnya abad ke-19, ketika kapitalisme kolonialis tampil begitu perkasa, Revolusi Bolshevik mematahkan kekuasannya, dan selama lima tahun selanjutnya untuk pertama kali dalam sejarah muncul gerakan anti-kolonial yang massif, di berbagai negeri, dari India sampai Mesir. Beberapa tahun selanjutnya memasuki abad ini, pertempuran-pertempuran awal Revolusi Tiongkok pecah, di Shanghai dan tempat-tempat lain. Abad revolusi, abad ke-20, saat itu dimulai sepenuhnya. Dalam pengertian itu, kita masih berkubang dalam arus balik logika fundamental abad ke-20, yang merupakan logika aspirasi sosialis, tuntutan demokratik, dan massa anti-imperialis yang bergerak melintasi benua-benua. Jadi, dalam pengertian sejarah, abad ke-21 belum dimulai, belum akan dimulai dalam waktu dekat ini, dan tidak bisa dimulai sampai arus balik itu sendiri telah dibalikkan.

Terjemahan tulisan Aijaz Ahmad "A Century of Revolution: Whose Century? Whose Millenium? A reflection on our times - I," Frontline, Volume 17, Issue 02 (22 Januari - 4 Februari 2000). Diterjemahkan oleh Nug Katjasungkana.

Sumber: Sumber: Media Kerja Budaya (www.mkb.kerjabudaya.org)