Rabu, 12 September 2007

Konsepsi Partai Politik dalam Marxisme (Non-Bolshevikisme)

Dari Pustaka Otonomis

Oleh: Dyonisus


Saat seorang penulis di abad ke-19 menulis tentang “gerakan sosial”, yang mereka maksudkan adalah gerakan buruh dalam berbagai macam manifestasinya[1] —klub-klub politis, serikat-serikat pekerja yang berdasarkan pada hasil produksinya, kooperatif, komuniti-komuniti utopia atau gerakan massa seperti Chartis—sebagaimana, dalam membahas mengenai “pertanyaan sosial”, yang mereka maksud adalah pertanyaan seputar isu buruh, kondisi kelas pekerja industrial. Marx juga menulis mengenai gerakan buruh, atau gerakan pekerja, tetapi ia juga menggunakan terminologi “partai” dalam beberapa bentuknya; bagaimanapun juga, jelas bahwa ia sama sekali tidak membahas, pada intinya, pada tipe modern dari partai politik[2], dan dalam faktanya ia menggunakan terminologi tersebut untuk mendeskripsikan berbagai jenis organisasi yang berbeda[3]. Misalnya, Marx membahas Liga Komunis (di mana ia menjadi anggota dari tahun 1847 hingga 1852) sebagai “partai kami” walaupun makna sebuah partai di sini adalah berarti sebuah klub politis. Dalam konteks yang berbeda, ia dan Engels memandang gerakan Chartis sebagai “partai kaum pekerja pertama di masa modern” dan melihat tradisi-tradisi Chartis sebagai sebuah dasar yang dapat dijadikan pijakan untuk membentuk sebuah partai kelas pekerja di Inggris.

Marx juga berbicara tentang “partai kami” dalam sebuah pengertian yang transendental, sebagaimana Monty Johnston telah catat: “Bagi Marx partai dalam pengertian ini membadani konsepsinya atas ‘misi’ kelas pekerja, mengonsentrasikan dirinya sebagai sebuah ‘kepentingan- kepentingan masyarakat’.” Dari sudut pandang ini, “partai” dan “kelas” jelas menjadi identik; partai adalah sebuah kelas yang terorganisir bagi sebuah perjuangan politis, tahapan tertinggi dari perkembangan “kelas itu sendiri”. Konsepsi ini, bagaimanapun juga, cukup cocok dengan pandangan yang secara umum diekspresikan oleh Marx: katakanlah, perkembangan politis dari kelas pekerja (organisasinya, dalam sebuah artian luas) akan memberi jalan bagi kebangkitan berbagai macam organisasi lain tertentu yang pada ujungnya akan tersatukan dalam identitas kelas itu sendiri, bukan tersatukan oleh partai yang terdisiplinkan dan tersentralisir. Dengan demikian, Komune Paris, yang jelas bukan sebuah pencapaian sebuah partai dalam artian modern, dideskripsikan oleh Marx sebagai “bentuk politik yang pada akhirnya diketemukan, yang bekerja demi emansipasi buruh.”[4] Tema dominan dari seluruh tulisan-tulisan Marx tentang perkembangan politis kelas pekerja adalah bahwa semua hal tersebut akan berakhir dalam pembentukan organisasi-organisa si otonom, mandiri dari partai-partai dan gerakan-gerakan kaum borjuis; tidaklah penting untuk kemudian dikerucutkan dalam pemapanan sebuah organisasi tunggal utama yang akan menentukan perjuangan kelas pekerja secara keseluruhan.

Marx tidak sempat hidup lebih lama untuk melihat perkembangan pesat partai-partai politik massa, sehingga ia juga tidak sempat mengkritisinya, dalam bentuknya yang paling akut, problem dari pemisahan antara partai sebagai sebuah organisasi (yang memiliki kantor pusat, penyandang dana, koran dan jurnal-jurnalnya) dengan sejumlah besar organisasi yang telah dipersatukan oleh kelas sebagai sebuah komuniti atau gerakan sosial yang potensial yang membawa perubahan popular. Apabila dikaji, khususnya SPD (Social Democratic Party) Jerman karena itulah partai politik kelas pekerja modern dalam makna yang kita kenal sekarang, banyak para Marxis telah sampai pada kesimpulan bahwa terdapat sebuah pengkonsentrasian yang tak terelakkan di tingkat kekuasaan teratas, atau “oligarki”, dalam semua organisasi berskala besar, dan sebagai konsekuensinya akan terbagi-bagilah kepentingan antar para pemimpin, pejabat tinggi dan massa yang dikombinasikan untuk membentuk sebuah partai politik modern[5]. Kepentingan pada pejabat tingginya, menurut para Marxis tersebut, akan selalu konservatif, dan dalam sebuah situasi politik tertentu kepentingan- kepentingan mereka akan mendiktekan sebuah kebijakan yang defensif atau bahkan reaksioner, sementara kepentingan- kepentingan kelas pekerja justru menuntut sebuah kebijakan yang tegas dan agresif. Tetapi sebagian besar kaum Marxis justru mendasarkan argumen-argumennya dengan menganalisa apa yang biasa sebut sebagai “inkompetensi massa”, yang dipandang “tak akan mampu mengambil bagian dalam proses pengambilan keputusan dan hasrat untuk kepemimpinannya sangat lemah.” Hal ini terlihat juga dalam konsepsi yang diformulasikan oleh Lenin, melalui sebuah perspektif dan konteks yang berbeda, yang mana juga memapankan sebuah pembedaan yang semakin tebal antara partai dan kelas dengan menekankan bahwa kelas pekerja sendiri tak akan pernah dapat mencapai lebih jauh daripada sekedar “kesadaran serikat buruh” (atau dengan kata lain dapat dijabarkan sebagai kesadaran yang hanya terfokus dan berhenti pada pertanyaan-pertanya an ekonomis yang temporer) dan bahwa sebuah kesadaran revolusioner harus diinjeksikan ke dalam kelas pekerja dari luar kelas tersebut, oleh para teoris Marxis dari sebuah partai. Dengan hal ini, yang diekspresikan oleh Lenin dalam terminologi- terminologi politik praksis, dielaborasikan dalam sebuah argumen filosofis oleh Georg Lukács (jangan dikaburkan dengan George Lucas sang sutradara film Star Wars) sebagai salah satu dari beberapa tema sentral yang telah memecah interpretasi atas Marxisme.

Argumen-argumen yang diajukan oleh Lenin (yang berdasarkan pada kasus keterbelakangan masyarakat Russia saat itu dan kegagalan para revolusioner Eropa pasca 1917) tampaknya justru apabila dikaji menggunakan sejarah jelas keliru, semenjak gerakan kelas pekerja sepanjang sejarah peradaban dan pra-peradaban yang dikenal manusia, telah tiba pada ide-ide sosialis jauh sebelum Marx sendiri menjadi seorang sosialis atau memformulasikan teori-teori sosialnya; argumen-argumen Lenin tersebut juga jelas menjadi tidak konsisten dengan orientasi fundamental dari pemikiran Marx sendiri, sebagaimana juga yang dialami oleh mayoritas Marxis hari ini. Hal-hal tersebut di atas mengajukan sejumlah pertanyaan serius yang sebagian besarnya tidak tereksplorasi dalam karya-karya Marx dan hanya mendapatkan sedikit saja perhatian dari para Marxis setelahnya.

Ada dua buah isu prinsipil berkaitan dengan konsepsi partai politik ini, yang perlu diperhatikan— tetapi lebih seringnya malah diabaikan baik oleh para Marxis setelahnya atau juga mereka yang anti-Marxis, seperti rata-rata anarkis (khususnya para Bakuninis).

Pertama, isu konteks “partai politik” dalam relasi partai sebagai sebuah organisasi terhadap kelas pekerja—problem- problem kepemimpinan, peran elit-elit revolusioner, oligarki dan birokrasi. Pandangan-pandangan Lenin tentang posisi dominan para pemimpin, pejabat tinggi partai dan “inkompetensi massa” sebagian dikarenakan atas perbedaan mencolok dari adukasi dan kultur yang memisahkan para pemimpin dengan anggota-anggota rendahannya dan kelas pekerja secara keseluruhan. Dengan menganalisa SDP, maka tak jarang beberapa Marxis sampai pada kesimpulan bahwa gerakan sosialis sesungguhnya adalah sebuah ideologi yang diekspresikan oleh para intelektual yang tidak puas, dan dengan demikian malah menciptakan sebuah kelas intelektual baru yang mampu mengarahkan dan memerintah—walau para intelektual dalam kelas tersebut terus menerus percaya bahwa masyarakat tanpa kelas tetap masih mungkin tercipta dengan cara tersebut. Tetapi setidaknya, hal tersebut juga mengajukan sebuah argumen baru, bahwa artinya dalam perjalanan menuju emansipasi kelas pekerja diperlukan juga pengembangan edukasi dan kultur popular (mohon jangan dikacaukan sebagai popular-culture atau kultur pop). Nicolai Bukharin, misalnya, mengajukan argumen bahwa “inkompetensi massa” adalah sebuah produk dari kondisi-kondisi teknis dan ekonomis, yang akan lenyap dengan sendirinya dalam sebuah masyarakat sosialis. Dapat dikatakan—melangkah melampaui argumen Bukharin, yang hanya memberi penekanan pada situasi pasca revolusi—bahwa sebuah tingkatan tertentu dari edukasi popular justru harus menjadi sebuah prakondisi bagi sebuah transformasi sosial yang akan menuju pada terciptanya tatanan masyarakat sosialis; dan hal ini beriringan dengan baik dengan ide-ide Marx tentang pentingnya perkembangan sosial dan intelektual dalam sebuah masyarakat kapitalis yang telah maju sebagaimana ia kemukakan dalam Grundrisse[6]. Tetapi toh argumen seperti yang baru saja dipaparkan tidak lantas menyelesaikan problem-problem mengenai struktur organisasi-organisa si berskala besar yang membidani lahirnya elit birokrasi, sebuah kelompok elit yang dominan dan sebuah perbedaan yang tajam di antara para pemimpin dengan anggota rendahannya atau kelas pada keseluruhannya. Hal ini memang oleh Marx dirasa tidak perlu diberi perhatian, tetapi juga karena penyepelean hal-hal seperti inilah maka terjadi pertentangan yang sangat prinsipil dengan kawan seperjuangannya saat itu, Mikhail Bakunin. Dan toh fakta memang menunjukkan demikian, bahwa problem-problem tersebut justru menjadi semakin akut di kemudian hari pasca meninggalnya Marx. Skala dan kompleksitas organisasi-organisa si dalam masyarakat modern yang muncul setelahnya menjadi semakin meningkat dan rumit. Lagipula di sisi lain, berbagai kecenderungan oligarkis dalam partai-partai kelas pekerja juga muncul dalam bentuknya yang baru dan lebih mencolok; fenomena-fenomena seperti inilah yang kini harus dipelajari, walau telah diperingatkan oleh para anarkis pengikut Bakunin jauh sebelumnya, oleh partai-partai kelas pekerja, dan juga karena telah terbukti bahwa partai politik tipe Bolshevik yang menggunakan sistem partai tunggal juga tidak membawa kelas pekerja kemanapun selain pada jurang yang mematikan. Dan karena selama berdekade-dekade Marxisme sendiri telah terdominasi oleh ideologi Bolshevik, nyaris tak ada yang menyadari bahwa baik secara teoritis maupun empiris, Marxisme (-isme yang didasarkan pada karya-karya Marx sebagai teori-teori fundamentalnya) sangat berbeda dengan Marxisme yang kita kenal rata-rata saat ini, yang artinya, juga berbeda dalam banyak hal lainnya (misalnya konsepsi tentang makna “partai politik”).

Isu kedua yang tak kalah penting, yang sebagian besarnya diajukan oleh Lenin, yaitu ide tentang bagaimana kesadaran kelas pekerja dapat dikembangkan, yang terkait dengan relasi antar kelas, doktrin politik, dan teori sosial—dan dalam satu pengertian umum, isunya adalah tentang di mana posisi dan peran para intelektual dalam gerakan kelas pekerja. Sangat kontras dengan pandangan umum seputar Marxisme, Marx sendiri justru telah mengajukan peringatan (walau sedikit) atas pandangan bahwa sebuah partai kelas pekerja haruslah berupa sebuah “partai Marxis”. Telah jelas, bahwa di penghujung hidupnya, secara eksplisit Marx menjauhkan diri dari beberapa upaya pembentukan partai-partai sejenis yang telah disebut di atas, khususnya di Perancis, dengan cara mendeklarasikan diri bahwa ia bukanlah seorang “Marxis”. Teori Marx tentang masyarakat, tentu saja, mempengaruhi kesadaran kelas pekerja dan mampu masuk dengan berbagai cara ke dalam doktrin-doktrin politik kelas pekerja; sebagai sebuah teori, bagaimanapun juga, tujuan prinsipilnya adalah untuk membuka karakteristik alamiah relasi kelas dalam masyarakat kapitalis, untuk menganalisa kecenderungan- kecenderungan ekonomis dan sosial dalam perkembangan kapitalisme, dan untuk memperlihatkan bahwa kelas pekerja adalah sebuah kekuatan politik yang mandiri, yang mau tak mau telah terlibat dalam bentuk masyarakat yang eksis saat ini. Perilaku alamiah jugalah yang akan mendorong setiap kelas pekerja di setiap masyarakat yang berbeda-beda, untuk mengorganisir diri mereka sebagai sebuah organisasi dan gerakan politis, dan bentuk yang akan mengekspresikan oposisinya terhadap kapitalisme dan aspirasinya akan sebuah dunia baru, akan tergantung pada keadaan sekitar mereka, termasuk sejarah dan tradisi kulturalnya. Dan doktrin ini akan merasa perlu untuk melampaui segala macam sains, semenjak doktrin tersebut memeluk sebuah visi imajinatif tentang bentuk masyarakat masa depan.

Marx telah dengan jelas membuat perbedaan antara teori saintifik dan doktrin sosial (ideologi) dalam kritiknya terhadap ekonomi politik; doktrin-doktrin ekonomi borjuis jelas ideologis, dalam artian doktrin tersebut merepresentasikan sebuah gambaran masyarakat kapitalis yang melenceng dan terdistorsikan, tetapi justru di saat yang sama, ekonomi politiknya Adam Smith dan Richardo jelas merupakan sebuah sains teoritis sejati. Perbedaan ini terlihat jelas apabila diamati dalam konteks sejarahnya. Marx melihat bahwa sebuah kelas yang timbul (misalnya, kelas borjuis dalam masyarakat feodal) mampu berkembang melalui representasi para intelektual, sains yang realistis atas masyarakat, di mana pemikiran sosial sebuah kelas yang kemudian dimapankan melalui kekuasaan menjadi lebih ideologis, dibutuhkan bagi kepentingan khusus dan kemakmuran mereka yang duduk di tampuk kekuasaan dan untuk menghindari perubahan sosial yang akan menggulingkan posisi mereka[7]. Dari sudut pandang ini, dapat dikatakan bahwa teori-teori Marx berdiri dalam sebuah relasi yang sama seperti di mana proletariat sebagai sebuah kekuatan ekonomi politik klasik berdiri di hadapan borjuasi. Tetapi lebih jauhnya lagi, ideologi Bolshevik kemudian dapat dilihat sebagai sebuah doktrin dari sebuah kelas baru yang berkuasa, yang mirip dengan apologi atas kapitalisme, sesuatu yang telah dikritik oleh Marx jauh sebelumnya, dalam karya klasiknya tentang kritik ekonomi politik. Tentu saja, dengan melihat dari sudut pandang demikian, maka perkembangan bersejarah ini (partai Bolshevik) bukanlah yang diharapkan oleh Marx. Ia berharap melihat masyarakat sosialis masa depan memiliki karakter rasional dan saintifik sehingga relasi manusia dengan sesama manusia, termasuk dengan alamnya, akan semakin transparan dan beralasan, sementara dengan mengandalkan lingkup pemikiran ideologis, maka pengaruh yang timbul jelas akan terdistoris, yang pada ujungnya hanya akan sepenuhnya menghapus kedua relasi tersebut.

Perlu ditekankan, bahwa walaupun Marx mendiskusikan teori dan ideologi dalam konteks kesejarahannya, toh ia juga memberikan pembedaan yang jelas, absolut serta universal di antara keduanya. Tak diragukan lagi apabila lantas Marx percaya bahwa kemajuan teoritis yang sejati memang mungkin dilakukan dalam masyarakat saintifik, dan ia sendiri telah berkontribusi dalam kemajuan ini melalui penyelidikannya terhadap ekonomi politik—sebuah sains yang mana, sebagaimana yang ia utarakan pada Engels, belum juga berkembang semenjak era Adam Smith dan Richardo hingga ia merasa harus melakukan penyelidikan tersebut. Ada sebuah perbedaan mencolok antara pandangan Marx dengan para interpretator Marxis setelahnya seperti Georg Lukács misalnya. Dalam karyanya yang terkenal, Sejarah dan Kesadaran Kelas, Lukács membuat perbedaan antara teori dan ideologi menjadi kabur, dan teori-teori marxis dipresentasikan sebagian besar dalam bentuk ideologis, dengan sekedar mengidentifikasikan dalam bentuk kesadaran kelas proletariat.

Pemikiran Marx, yang memisahkan (walaupun tetap saling terhubung) antara teori dan ideologi, dan mengaitkan keduanya pada perkembangan kelas-kelas sosial, menghadirkan sejumlah kesulitan yang membutuhkan pembelajaran kritis.

Satu dari berbagai kesulitan tersebut berpusat pada peran kelas sosial sebagai basis prinsipil keberadaan ideologi-ideologi. Dengan demikian perlu juga untuk mendefinisikan terlebih dahulu apa itu ideologi, dan dalam membahas mengenai Marxisme tentu amat sangat perlu untuk memahami definisi ideologi dari kacamata Marx sendiri. Ideologi, dalam pengertian Marx, adalah sejumlah konsepsi yang mana sebuah kelompok sosial menyistematiskan nilai-nilai yang diyakininya. Dengan demikian, tentu terdapat banyak sumber-sumber yang potensial bagi kemunculan sebuah ideologi—kelompok- kelompok berdasarkan etnis dan linguistik, berdasarkan regional tempat mereka tinggal, berdasarkan generasi, berdasarkan afiniti, tradisi, religi dan kultural, termasuk berdasarkan kelas sosial—dan pertanyaan tentang dari mana ideologi itu bermula harus dikaji dengan kajian yang sangat empiris, bukan dengan diskusi konseptual atau refleksi filosofis. Banyak para peneliti atas hal tersebut lantas melihat pentingnya gerakan dan ideologi nasionalis; dan selama pertengahan abad lalu, berbagai ideologi telah berkembang dari berbagai kelompok sosial yang sangat beragam, baik dalam bentuknya maupun dalam keterkaitannya yang sangat longgar dengan latar belakang kelas sosialnya (misalnya untuk tidak menyebutkan semuanya: gerakan mahasiswa, gerakan feminis, gerakan berdasarkan ras). Lebih jauh lagi, dengan demikian dapat diajukan sebuah argumen, bahwa produksi ideologi tampaknya tidak akan berakhir dengan sebuah penciptaan tatanan masyarakat tanpa kelas, sebagaimana justru semakin marak lahirnya kelompok-kelompok yang membangun ideologinya melampaui batas-batas kelas sosial.

Kesulitan lain yang juga timbul adalah mengenai peran para intelektual—para representatif “pemikir” dari sebuah kelas atau kelompok yang, diakui atau tidak, telah mengkonstruksi berbagai teori dan ideologi. Teori politik Marx menggunakan analogi antara muncul dan berkembangnya para borjuis dalam masyarakat feodal dengan muncul dan berkembangnya proletariat dalam masyarakat kapitalis. Perbedaannya, sebagaimana yang juga disadari oleh para intelektual itu sendiri, hanyalah bahwa para intelektual yang merepresentasikan para borjuis adalah para borjuis itu sendiri, yang sebagian besarnya memang berasal dari kalangan borjuis dan berpartisipasi langsung dalam kehidupan sosial kelas borjuis sesuai dengan pemikirannya; sementara para intelektual sosialis—yang mengaku merepresentasikan proletariat—bukanlah proletariat, yang sebagian besar bukan dari kalangan proletariat, memiliki perbedaan mencolok antara kehidupan sosial hariannya dengan aspirasi kelas pekerja yang seharusnya mendasari doktrin sosial yang diklaim selalu diembannya. Hal seperti ini yang lantas juga menjadikan ide Lenin bahwa kesadaran kelas sosialis harus diinjeksikan ke dalam kelas pekerja oleh mereka yang berada di luar kelas tersebut, menjadi masuk akal. Dan tentu saja, dengan melihat hal ini, maka tidak salah apabila lantas dikatakan bahwa sosialisme hanyalah sebuah ideologi yang dikembangkan oleh para intelektual dalam perjuangan mereka meraih dominasi[8].

Tidak ada komentar: