Rabu, 12 September 2007

Peradilan Kaum Intelektual



Oleh Indra J. Piliang

Wajah kaum intelektual atau akademisi sempat menjadi hambar ketika sejumlah pengadilan menghadapkan mereka pada belantara pasal dan ayat selama reformasi. Bahkan mereka sendiri yang mengusulkan dan menyusun pasal dan ayat itu, sekalipun akhirnya diputuskan menjadi hukum dan peraturan oleh Presiden bersama Dewan Perwakilan Rakyat. Kaum intelektual juga yang ditunjuk untuk menjadi bagian dari penyelenggara negara sebagai bentuk partisipasi dan kompetensi pribadi. Tapi sebagian tergelincir dalam sejumlah kasus.

Beberapa nama pun masuk ke ruang-ruang tahanan. Sebut saja Mulyana W. Kusumah, Nazaruddin Sjamsuddin, dan Rokhmin Dahuri. Mulyana adalah pakar dan ahli kriminologi yang berada pada garis depan masyarakat sipil dalam masa Orde Baru. Nazaruddin adalah guru besar ilmu politik. Rokhmin juga guru besar bidang kelautan dan menjadi menteri pada masa pemerintah Megawati.

Apa yang terjadi? Tuduhan dan bukti-bukti atas mereka menakutkan: koruptor. Dibandingkan dengan kejahatan korporasi yang dilakukan oleh para konglomerat hitam dan pejabat-pejabat rezim Orde Baru lainnya, kasus korupsi yang menimpa mereka jauh lebih kecil dari segi jumlah nominal. Tapi jeratan hukuman buat mereka terlihat seperti jaring laba-laba yang begitu kuatnya, yang membuat mereka nyaris tidak bergerak.

Pengadilan dan hukuman yang ditimpakan kepada kaum intelektual ini telah menyebabkan krisis kepercayaan dari sebagian masyarakat atas fungsi akademis yang mereka sandang. Di tengah masyarakat yang sebetulnya sedikit sekali memiliki ahli dan guru besar, karena lebih banyak berpendidikan sekolah dasar dan menengah, adanya kebencian terhadap para guru dan dosen ini merupakan gejala yang patut ditangisi. Akibat kelalaian, ketidakpahaman, atau mungkin juga karena kesempatan yang tersedia, kaum intelektual mengalami cemoohan yang paling tidak manusiawi.

Kali ini pengadilan tentu tidak ditujukan pada pikiran. Misalnya pikiran akan kebebasan dari rasa takut, pikiran tentang hegemoni dan kontrahegemoni, atau perlawanan atas impuls-impuls saraf yang terlalu diisi dengan doktrin. Pengadilan lebih ditujukan pada pelanggaran atas aturan yang dibingkai sedemikian rupa agar bisa menjerembapkan para penyelenggara negara dan pejabat publik untuk tidak menyelewengkan kekuasaan. Ruang pengadilan digunakan untuk menyatakan betapa mudahnya kaum intelektual tergelincir pada persoalan pelik, yakni urusan tanda tangan, bukti-bukti, dan kuitansi. Sementara itu, kalangan yang berpengalaman dalam birokrasi memiliki semacam kemahiran dalam menyiasati peraturan.

Banyak yang menuding bahwa uanglah yang menyebabkan keruntuhan karier moral, etika, dan pertanggungjawaban seorang intelektual. Uang dianggap menjinakkan mereka, karena mereka selama ini hanya terpaku pada buku atau angka-angka statistik yang berhubungan dengan bidang studi mereka. Lalu kesempatan menggenggam sejumput kekuasaan dalam fase yang singkat dijadikan alasan betapa kaum intelektual pun punya ambisi besar. Mereka tidak lagi menjadi panutan di menara gading atau menara api ataupun menara air, tapi diibaratkan bergelimang kemewahan dengan menara uang.

Benarkah begitu? Saya termasuk yang tidak mudah percaya pada tuduhan-tuduhan yang penuh dengan stigmatisasi itu. Saya lebih meyakini betapa kaum intelektual yang bersentuhan dengan kekuasaan pada akhirnya teperdaya oleh sikap humanistik mereka atas segala macam kencrengan dan proposal-proposal yang datang dari pelbagai kalangan. Siapa pun di negeri ini akan sangat paham bahwa ketika Anda menjadi sedikit terkenal atau seranting lebih tinggi dan selangkah lebih maju, Anda akan dijadikan sebagai sasaran segala macam permasalahan dari seseorang yang Anda kenal atau bahkan tidak pernah Anda kenal sama sekali. Mereka meminta bantuan tanpa pernah tahu dari mana bantuan itu datang.

Para intelektual--apalagi yang datang dari kelompok yang terbuang serta kalangan keluarga kecil dan menderita--sudah begitu memahami betapa mereka diberi tanggung jawab sosial yang sangat besar untuk mengakhiri derita seseorang atau sekelompok orang yang datang meminta bantuan itu. Baik dalam jumlah yang besar maupun kecil, selalu saja tersedia sejumlah pos anggaran untuk menyalurkan bantuan itu. Dan karena memang tidak begitu awas dengan segala jenis peraturan, kedermawanan akhirnya menjadi petaka. Hidup tergelincir dalam palung hinaan.

Ada sedikit (atau malah banyak?) kaum intelektual yang tidak mau--dan berani--masuk kekuasaan. Sedari awal mereka sadar betapa seonggok kotoran sudah siap terinjak. Bahkan bertumpuk-tumpuk beling dan duri tersedia untuk mengiris dan menusuk telapak kaki.

Sebagai contoh, seorang Rokhmin, barangkali, tidak akan dinilai dari sejauh mana ia telah mencoba mengembangkan potensi kelautan dan perikanan, tapi dari ketidakmampuannya mengalokasikan anggaran yang dikelolanya. Seluruh kesaksian akan keandalan Rokhmin dalam mengingatkan masyarakat, pemerintah, dan dunia internasional tentang pentingnya laut dan ikan justru dijadikan alasan betapa dia hanya mengerti dunianya, tapi tidak paham labirin kekuasaan yang dimasukinya.

Dari semua "hasil tangkapan" Komisi Pemberantasan Korupsi, kita sedikit sekali menemukan kaum yang telah piawai dalam kekuasaan itu sendiri, yakni para birokrat karier. Bukan karena KPK sedang tebang pilih atau pilih tebang, melainkan bukti-bukti matang lebih melibatkan kalangan yang dituduh, didakwa, atau ditahan KPK. Mereka yang sebagian berasal dari dunia akademis itu telah diberi catatan bahwa mempelajari keseluruhan bingkai kekuasaan tidaklah semudah menuliskannya dalam teori tentang kekuasaan itu sendiri.

Pengadilan atas kaum intelektual adalah buah busuk dari pohon-pohon demokrasi yang tumbuh subur. Pengadilan itu datang dari kehendak yang tidak hendak fokus pada pikiran dan kemajuan ilmu pengetahuan, tapi berasal dari zaman yang telanjur nyinyir dengan jiwa suci kekuasaan. Barangkali, di masa mendatang, kita akan melihat kekuasaan menjadi bersih dari segala noda. Kekuasaan yang berkilap dan licin tanpa ada lagi "kerugian negara", selain melulu berderet-deret manusia suci--yang berjuta jumlahnya--yang setiap hari bertafakur akan nasib negara dan berjibaku demi bangsa. Kekuasaan yang berubah menjadi kastil, vihara, gereja, dan masjid. Kekuasaan yang suci dari debu-debu apa pun.

Kalau memang itu pilihannya, pantaskah kita menyebut kaum intelektual yang telah diadili karena korupsi, misalnya, sebagai tumbal? Ataukah mereka lagi-lagi dengan picik disebut sebagai penjahat kemanusiaan? Barangkali kita hanya bisa berandai-andai bahwa peradilan atas kaum intelektual adalah proses dari sebuah peradaban yang sedang bangkit, yang hendak menjadikan kekuasaan segalanya dan segalanya adalah kekuasaan....

Indra J. Piliang, ANALIS POLITIK DAN PERUBAHAN SOSIAL CENTER FOR STRATEGIC AND INTERNATIONAL STUDIES, JAKARTA


Tidak ada komentar: